Lagu “Omoiyari no Uta” dinyanyikan saat Bunkasai di Banda Aceh. Yang menyanyikan anak-anak sekolah antara lain: SMA 2, SMA Unggul Ali Hasjmy, Kursus Bahasa Jepang Kougetsu School, SMP 1 Peukan Bada. Rame banget deh. Suaranya begitu harmoni, gerakan-gerakannya juga OK. Lagu ini bertemakan kasih sayang. Terus terang, aku belum membaca syair lagu ini, hanya tahu temanya tentang kasih sayang ibu kepada anaknya.
Ketika sampai pada bait ini: atatameru purezento. Gerakannya adalah seperti ibu yang sedang menggendong bayinya. Tiba-tiba mataku mengabur, teringat ibuku. Saat aku bayi, ibu pasti sering menggendongku, mendekapku dengan penuh kehangatan. Ibu pasti merasa bersyukur dengan kehadiranku. Aku bagaikan anugrah yang diberikan Allah SWT dan disambut dengan penuh sukacita oleh ayah ibuku. Air mataku berderai-derai mengingat itu semua.
Banyak lagu Jepang yang kusuka, namun tidak kumengerti artinya. Hal ini karena aku tidak pandai berbahasa Jepang atau Nihonggo. Hanya karena pernah tinggal di Negeri Matahari Terbit itu, jadi mengerti sedikit-sedikit. Baru-baru ini, aku memberanikan diri mengajar Nihonggo di kotaku Banda Aceh, dengan kemampuanku yang terbatas. Dan ketika mendengar lagu-lagu Jepang, mau tidak mau aku mempelajari lagi bahasa yang sudah banyak kulupa. Satu persatu kosa kata bahasa Jepang kuingat kembali. Dan ketika aku mebaca syair-syair lagu Jepang itu, hatiku menjadi tercabik-cabik.
Seperti lagu Mirai E. Sewaktu tinggal di Jepang aku cukup sering mendengar lagu ini. Tapi yah, karena tidak mengerti artinya, lagu itu seperti nyanyian tanpa makna buatku. Masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Tidak meresap ke sanubari. Tapi baru-baru ini ketika aku mencari lagu Mirai E beserta lirik dan terjemahannya di Youtube, aku begitu terhenyak. Ternyata lagu itu mengandung arti yang teramat dalam. Lagu ini mengisahkan tentang bagaimana seorang ibu membekali anaknya dengan berbagai pengetahuan. Hal mana dimaksudkan agar masa depan anaknya menjadi berbahagia. Jadi teringat ibukulagi. Beliau telah membekaliku dengan berbagai macam ketrampilan, seperti mencuci baju, menyeterika, memasak. Yang kesemuanya itu sangat berguna bagi masa depanku, utamanya ketika aku berumah tangga. Mengingat jasa-jasa ibuku yang teramat besar, bahuku berguncang menahan tangis.
Begitu juga dengan lagu Sakura. Lagu yang dinyanyikan oleh Naotaro Moriyama dan populer di tahun 2000-an ini menceritakan kepedihan seseorang ketika melepas sahabatnya yang akan pergi. Sahabat yang dicintai dan –sayangnya- mempunyai usia yang singkat ini diibaratkan dengan sakura, yang berusia hanya dua minggu saja. Walau berusia singkat, namun telah memberikan kenangan yang sangat berharga, yang diibaratkan “kini sakura mekar dengan bangga”. Dan kehadiran di sisinya tetap “tak tergantikan” walau dia telah pergi. Lagu yang melankolis dan sangat menguras air mata.
Tiap kali mendengar lagu itu, aku selalu teringat seseorang, yang belum lama menjadi sahabatku, Kak Evi Lisna. Aku mengenalnya ketika beliau mengikuti Untold Story of Writers, suatu acara kepenulisan yang digagas oleh FLP Aceh. Ketika itu aku mengantarkan tiket untuk Kak Safrida –sahabatku yang juga sahabat Kak Evi- di jurusan Sosek Fakultas Pertanian. Dan ternyata Kak Evi berminat juga. Beliau mengutarakan niatnya untuk belajar menulis di FLP. Subhanalloh. Aku merasa tersanjung dengan permintaannya. Beliau yang seorang doktor, yang lulusan universitas ternama di Jepang, dengan rendah hati menyatakan ingin belajar menulis. Hatiku tercabik-cabik karena rasa haru yang mendalam.
Beberapa saat setelah itu, kami dipertemukan kembali dalam acara Bunkasai, semacam festival kebudayaan. Awalnya aku yang ibu rumahtangga ini tidak terlibat dalam kepanitiaan. Namun karena sahabatku, Mbak Ade –guru bahasa Jepang- ingin join di acara itu. Secara perlahan kami akhirnya ikut ‘tercebur’ di acara tersebut. Aku dan Mbak Ade bertugas dalam seksi “Demo dan Bazar Makanan Jepang”. Dengarlah apa komentar Kak Evi ketika itu.
“Ibu-ibu rumahtangga ini potensinya besar lho. Bagus sekali kalo mereka mau bantuin Persada.”
Lagi-lagi perasaanku seperti mau melayang ke udara. Persada, yang merupakan perkumpulan para alumni lulusan Jepang, didominasi oleh para doktor-doktor yang hebat. Awalnya aku merasa jengah berada di antara bapak-bapak alumni Jepang itu. Tapi testimoni dari Kak Evilah yang menguatkan diriku. Walaupun aku bukan lulusan Jepang, walaupun aku bukan doktor, tapi aku punya kemampuan. Dan bantuanku diperlukan di sini. Jadi berkat jasa Kak Evi, jadilah aku dan Mbak Ade, juga ibu-ibu rumahtangga lainnya, mengabdikan diri dalam acara Bunkasai.
Kini Kak Evi telah menghadap Ilahi, tepatnya tanggal 10 April 2012. Walau pedih, aku berusaha menerima kenyataan itu. Allah sangat sayang pada Kak Evi, sehingga cepat dipanggil. Walau persahabatan kami hanya sesaat, namun senyumannya, keramahannya, dan sifatnya yang rendah hati, tetap terpatri dalam sanubari. Selalu dan selamanya. Itsumo, itsumo, mune no naka. For Kak Evi, missing you deep in my heart
Masya’Allah, Mulla luar biasa adinda tulisannya sampai ikut meneteskan air mata
Syukran kak Titin. Maaf ya jadi bikin sedih. Mala pun bolak-balik nangis, Kak. Berat memang nulis cerita sedih seperti ini. Tapi teringat hikmah yang bisa kita petik. Jadi ya agak memaksakan diri, walau sedih. Sehat selalu ya kakakku
Bagus sekali mala dek. Ceritanya menarik dan menyentuh❤️
Syukran kak Mar. Semoga kita semua sehat-sehat ya Kak
🥺🥺🥺🥺🥺
Kini saya membantu Kak Evi Sakura menjaga anak anaknya.. membantu sekuat tenaga semampu saya.. kak Evi takkan tergantikan..
Memang bagaikan sakura yang indah
Terima kasih banyak kak Sri Fitri, sudah menjaga anak-anak kak Evi. Hanya Allah yang bisa membalasnya. Iya betul kak, belum ketemu sosok seperti kak Evi. Semoga beliau sudah berbahagia di alam sana
MasyaAllah, tulisannya sangat menyentuh Mulla. Memang Kak Evi sosok yg luar biasa, semoga Allah tempatkan beliau di dalam Surga aamiin.
Mulla apa kabar ? Sehat2 ya smua kita
Makasih kaka Aya. iya betul, Kak. Aamiin YRA. Alhamdulillah kami sehat2, semoga Kakak juga sehat2 ya. Kangen.