Bangi. Entah mengapa akhir-akhir ini aku begitu merindukan tempat itu. Apakah karena konturnya yang berbukit-bukit? Ataukah riuhnya kicauan burung di pagi hari? Atau deru mesin kereta api KTM Komuter? Atau sunsetnya yang begitu memukau? Ataukah gabungan dari semuanya? Entah? Aku tak tahu pasti jawabnya.
Yang jelas, ketika kami melintasi hutan kecil dari Terminal LCC dan melihat papan bertuliskan “Bangi”, hatiku diliputi kebahagiaan. Hujan lebat yang mengguyur begitu kami sampai di perbatasan, mengingatkan akan kali pertama melintasi daerah ini. Di benakku, Bangi adalah guyuran hujan, aroma hutan yang memikat, dan jalan berkelok. Hmm, ku tak ingin melepas bayangan itu.
Ketika aku sampai di rumah sewa Ihsan dan Hamzah -mahasiswa S2 di UKM- aku tak pernah lupa betapa aku merindukan rumah itu. Merindukan kipas anginnya, gambar bunga di dindingnya, deretan kelapa sawit di samping rumah, bahkan aku juga merindukan kokok ayam jantan milik tetangga. Kamar Hamzah, bagiku ibarat kamar hotel bintang lima.
Pendek kata, aku menyukai Bangi, dan aku juga merindukannya. Sama seperti kerinduanku akan Negeri Sakura. Ketika melihat pohon rambutan yang telah mati, aku mengingat pohon sakura yang daunnya meranggas di musim gugur. Ketika naik turun bukit, dari rumah ke stasiun UKM, aku membayangkan sedang berjalan dari apartemen Hikari Haitsu menuju stasiun Miyamaedaira. Ketika sedang menjemur pakaian dan melihat KTM Komuter yang sedang melintas, aku seperti melihat kereta api Den-entoshi line yang sedang berlari.
Jika Tun Mahathir Mohammad, mantan Perdana Menteri Malaysia dijuluki Sukarno Kecil, bagiku, Malaysia adalah “Jepang Kecil”, dan Bangi adalah “Kawasaki Kecil”. Sungai Tangkas, Bangi, 2013
Andai kita semua bikin pesantren kilat di bangi pasti semuanya minta nambah hari
Bener ka Sofie, hehe, ketagihan yak