Pemandian air panas Cangar. Ini adalah obyek wisata yang pingiiiiiin banget aku kunjungi tapi belum terlaksana. Beberapa kali direncanakan tapi selalu gagal. Eeh, tak disangka tak dinyana malah sowan ke sini di saat yang tak direncanakan (walaupun nggak berendem).
Jadi ceritanya gini, pulang dari Selecta yang kedua, aku minta Bang Zen untuk mampir ke restoran ikan bakar yang depan Purnama Hotel. Kebetulan aku emang rada-rada laper. Tapi Bang Zen menolak, katanya tanggung, jam segini belum laper. Pendapat tersebut didukung pula oleh Mama dan Sari. Heran deh orang-orang ini kenapa pada tahan laper semua ya. Karena tidak ada pendukung akhirnya pendapatku gugur deh (kayak daun ajah). Terus Bang Zen menyarankan satu kata: Cangar. Yah berhubung aku emang mengidam-idamkan tempat ini yo wes setuju aja. Sari dan Mama pun oke (berhubung mereka nggak tau jenis makanan atau binatang apakah Cangar itu ya mereka ngikut wae).
Jadi dari Selecta naik terus ke Junggo, di sini banyak villa dan rumah peristirahatan. Udara pun berangsur dingin. AC pun dimatikan guna merasakan sensasi dingin tersebut (untuk ngirit bensin juga sih sebenarnya). Dan juga supaya lebih jelas melihat pemandangan, nggak terhalang kaca mobil yang rada-rada burem.
Terus terang aku rada-rada ngeri soalnya jalannya nanjak terus, berkelok-kelok dan rada sempit. Mama malah teringat Kelok 44 di Padang sana. Aku satu kali aja udah ngeri, apalagi 44 kali, nggak kebayang. Beberapa kali aku teriak,”Bang, awas Bang!” Berhubung mengganggu konsentrasi driver dan para penumpang lainnya, aku dimarahin Mama. “Mala, kamu tutup mata aja deh, bikin kaget orang tau!” Ditambahin pula sama Bang Zen,”Iya, Bu Mala ini sering kaget-kaget, orang jadi ikutan kaget. Kayak kapal mau pecah aja.” Aku terkekeh tanpa merasa berdosa. Ealah. Tapi aku mengikuti saran Mama. Kalau ngeliat yang ngeri-ngeri langsung pejamin mata. Biar nggak bikin rusuh. Untuk sementara suasana aman terkendali.
Mobil terus naik, pemandangan lereng perbukitan enddaahh banget, mirip-mirip dari puncak Selecta, tapi ini lebih bagus. Nama kerennya terassering, ditanami berbagai sayuran seperti wortel, kubis dan brokoli. Waktu ke Paralayang sempet ngeliat bunga putih-putih mirip dandelion penasaran bunga apaan tuh. Baru terjawab sekarang ternyata itu bunga wortel. Karena mau diambil bibitnya, jadi dibiarin tumbuh sampai keluar bunganya. Sebulan sudah pertanyaan itu berkecamuk di kepala, di Cangar kutemukan jawabnya. Ceilee…
Kabut putih mulai bergelantungan, jadi inget lagunya Ebiet G. Ade: “Kabut di Kintamani”. Wow romantis sekalee. Kepingin motret, berhubung ngeri jadi keinginan motret padam dengan sendirinya. Karena kalau motret kan harus berhenti, nanti aku dimarahin lagi. Ini jalanan sempit, nggak bisa berhenti-berhenti di jalan. Yo weslah.
Aku pikir udah deket ternyata perjalanan masih panjang, Saudara-saudara. Jadi inget syair lagunya Iwan Fals: Jalan masih teramat jauh, mustahil berlabuh, jika dayung tak dikayuh, maaf cintaku, aku nasehati kamu. Alamak, lanjuut.
Sempet bosen, soalnya pemandangannya gini-gini aja, dan nggak sampe-sampe. Hari mulai gelap dan aku kebelet pipis. Padahal tadi pas sholat Asar di musola udah pipis. Mungkin berhubung cuaca dingin, bawaannya beser aja.
“Bang kalau ada toilet berhenti ya,” pintaku pada Bang Zen, sang driver.
“Iya Bu,” jawab Bang Zen. Tumben patuh, biasanya ngeyel.
“Lho bukannya tadi udah pipis, Kak?” tanya Sari heran.
“Iya, gue mengalami masalah dengan kandung kemih, makanya sering sesak kencing,” kataku seperti sedang membacakan vonis dokter. Oalah.
Pemandangan berganti dengan pepohonan pinus alias konifer. Sesuai dengan pelajaran Geografi berarti suhu sudah bertambah dingin. Dan aku melihat sesuatu yang menakjubkan.
“Eh itu sunset, sunset! Sar, foto Sar!” Histerisku kumat lagi. Di puncak Gunung Welirang tampaklah sinar sang surya berwarna oranye keemasan. Indahnya nggak ketulungan, subhanalloh, luar biasa. Duh, nggak rugi deh gue ke Cangar maghrib-maghrib gini, pengalaman yang langka nih. Makasih Tuhan udah ngasih hadiah yang begini indah. Semangatku untuk motret udah padam dari tadi, tapi jauh di lubuk hatiku yang terdalam masih tersisa bara apinya. Aduh apaan sih. Maksudnya kepingin mengabadikan momen terindah ini.
“Nanti fotonya gue kirim ke imel ya Kak,” kata Sari seolah mengetahui keinginan hatiku yang terdalam. Duh engkau memang adikku yang paling manis, Sar.
“Bang, masih jauh Bang?” tanyaku nggak sabaran.
“Sedikit lagi, Bu,” jawab Bang Zen. Dan akhirnya terpampanglah tulisan “Pemandian Air Panas Cangar.”
“Ini pintunya ada dua. Nanti kita masuk lewat pintu yang di bawah aja, jadi Pak Ridha jalan kakinya nggak jauh,” jelas Bang Zen. Yaa, terserah deh, gimana baiknya aja, Pak. Ini maksudnya rencana kalau kami ke sini lagi biar Pak Ridha merasakan nikmatnya berendem di air panas, seperti keinginan beliau.
Mobil berjalan lagi. Masih dengan hutan cemara yang indah. Tampaklah tulisan “Taman Hutan Raya R. Surjo”. Dan nggak lama ada pemberhentian.
“Bu, kalau mau ke toilet di sini,” kata Bang Zen. Alhamdulillah. Akhirnya ada juga tempat berlabuh. “Hati-hati nyebrang ya Bu.” Iye, iye. Baru jalan sedikit aku balik lagi, ngambil duit Rp 5.000. Di mana-mana yang namanya toilet itu bayar. Aku udah paham dah.
Habis setor balik lagi ke mobil. Di sebelah kanan tampaklah warung bakso, penuh. Duh, dingin-dingin begini sedap banget dah ngebakso. Apalagi ditambah STMJ. Perfect. Tapi apa pada mau? Ikan bakar aja ditampik, apalagi bakso.
Di sepanjang jalan banyak poster bertuliskan: “Wisata Petik Apel”. Mulai dari Jalan Bukit Berbunga tadi sebenarnya. Sampe ke Cangar masih ada aja tuh tulisan. Ditempel di pohon-pohon. Malah ditambah dengan poster “Wisata Sapi Perah”. Setelah pemberhentian tadi terdengarlah suara burung. Aduh, serasa nginep di hutan banget. Sensasi seperti ini pernah kurasakan semasa ABG, yaitu di Pangandaran. Colek Dinda Farida. Ada suara burung, suara monyet bersahut-sahutan, serasa nonton film Tarzan, aa uu oo…
Terkesima dengan suara burung yang bersahut-sahutan, Sari merekam momen langka tersebut. Langka di kota, kalau di hutan yang beginian mah udah biasa. Tiba-tiba aku membaca tulisan di pohon dan langsung teriak,”SUSU PERAS SENDIRI!” Ya ampun Mala, kenapa jadi histeris gitu sih. Malem-malem di hutan rimba belantara gini, ngeri tau! Aku bahkan lupa kalau Sari lagi ngerekam. “Sari ulang lagi Sari. Tadi ada suara-suara…”pinta Bang Zen. Eeh menghina ya, suara gue merdu lagi, kenapa mau dipotong. “Gakpapa kok,” kata Sari dengan penuh kebijaksanaan. Aku pingin menjulurkan lidah ke Bang Zen sambil teriak,”Blee…” Tapi yo ndak mungkinlah.
Akhirnya Bang Zen memutar mobil dan kami berjalan pulang. Hhhh, akhirnya. Pak Ridha kan duduk di depan, aku di tengah. Tapi aku megangin bahu Pak Ridha, takut posisinya terlalu ke pintu. Nah waktu perjalanan pulang, beliau memegang tanganku. Lho kok tumben. Sepertinya beliau ikut merasakan suasana romantis yang tercipta. Aku membalas genggaman tangannya dengan penuh kemesraan. Ciee…
“Bu, mau sholat maghrib di jalan atau di rumah aja?” tanya Bang Zen. “Di rumah aja,” Mama yang menjawab. Sebetulnya aku pingin sholat di jalan, karena maghrib kan waktunya singkat dan aku bukan musafir lagi karena udah 2 bulan di sini. Tapi berhubung Mama udah jawab ya aku ngikut wae. Mama teringat sama Papa yang ketinggalan di rumah. Gimana nasib beliau ya. Sayang beliau nggak ikut, jadi nggak bisa merasakan sensasinya.
Gaya menulismu yg seperti bertutur selalu sedap utk dibaca..
Ayo teruskan menulis Mala sayang.. semangat
Makasih Wenny sayang. Senantiasa sehat dan bahagia ya Say