Mother, deep inside my heart
I have a mother who always believe in me
From now onwards as well,
Please continue to look after me
I’m sorry to have troubled you so much
Jika kita sakit, siapakah orang yang paling terluka? Orang tua, itu pasti. Begitu juga ketika Ikeuchi Aya, 15 tahun, divonis menderita Spinocerebellar Atropy, yang paling nggak bisa nerima itu adalah ibunya, Shioka.
Ketika Dokter Mizuno atau Mizuno Sensei mengatakan hal tersebut, Shioka hanya bisa mematung seolah tak percaya dengan hal yang didengarnya.
Dan akhirnya, pertanyaan yang keluar dari mulutnya adalah:
“Ini bisa disembuhkan, kan?”
Seberat apapun penyakit, kalau ujungnya bisa sembuh, akan lebih mudah. Akan ada pelita di tengah gelapnya suasana. Akan ada harapan di tengah keputus asaan. Akan ada purnama setelah kelamnya malam.
Namun ketika Mizuno Sensei berkata,
“Sejauh ini belum ada yang sembuh secara total…”
Mungkin serasa ada seribu petir menyambar kepala Shioka.
Masih penasaran Shioka bertnaya,
“Tapi kalau minum obat, atau terapi apa kek, bisa sembuh kan?”
Dengan berat hati, Mizuno Sensei menggeleng.
Karena nggak bisa nerima, dengan sopan Shizuoka mau minjem hasil MRI.
Awalnya, Mizuno Sensei bingung untuk apa. Tapi akhirnya ngerti.
“Untuk second opinion ya?”
Shioka mengangguk.
“Sensei, saya cuma nggak puas karena ini nggak bisa disembuhin. Saya mau coba alternatif lain.”
Akhirnya MRI diserahin.
“Tapi jangan lama-lama ya Bu. Ini penyakitnya jalan terus. Jangan sampe nanti jadi parah.”
Shioka ngangguk.
Aku kagum dengan sikap Mizuno Sensei. Legowo banget. Kalau aku jadi dia, kemungkinan akan ngamuk-ngamuk.
“Jadi ibu nggak percaya ama saya nih? Oke kalo gitu. Nih ambil !” Aku merasa tersinggung dengan sikap ibu Shioka. Kuberikan MRI dengan kasar.
Itu kan elo, Mal, bukan Mizuno Sensei. Bedalah. Menghadapi pasien itu kudu sabar. Namanya juga lagi galau. Masak dibentak-bentak begitu. Tambah sedihlah dia…
Ya gitu deh. Singkat cerita, Shioka ke RS lain. Nyerahin MRI ke dokter A.
Dokter A membaca MRI dengan seksama.
“Oh jadi ini hasil MRI dari Jonan Hospital ya? Ya ampun Bu, kalo Jonan Hospital mah udah terpercaya, kagak perlu diragukan lagi. Alah ibu, gimana sih. Ya nggak mungkin ada kesalahan lah Bu. Lagian menginterpretasikan hasil tes itu mah gampang, nggak susah-susah acan,” kata dokter A dengan nada lembut.
Shioka tergugu. Tapi masih tetap belum nerima kenyataan. Masih mau usaha lagi.
Kali ini ke dokter ternama. Pakar Spinocerebellar Atropy se-Jepang. Profesor Fulan bin Fulan.
Jawaban beliau sama dengan Mizuno Sensei. Belum ditemukan obatnya.
“Kalau ke luar negeri gimana, Sensei?”
“Saat ini, Jepang termasuk yang terdepan dalam teknologi Kedokteran. Jadi kalau mau berobat ke luar negeri, yaa, mereka ada di bawah kita atuh.”
Lemeslah Shioka. Kasian. Secercah harapan yang samar-samar, kini padam sudah.
“Lagian, Mizuno Sensei itu salah satu murid saya yang terbaik loh.”
“Trust him.” Secara implisitnya begitu.
Shioka pun pulang dengan sedih.
Shioka balik lagi ke Jonan Hospital. Ke Mizuno Sensei. Tapi beliau biasa aja.
Beliau mah bijaksana. Tidak menghujat. Tidak menyalahkan. Berahlak mulia. Beretika.
Waktu Mizuno Sensei mau jelasin hasil MRI, sebenarnya beliau pinginnya tuh mereka dateng berdua. Shioka dan suaminya.
“Lha Bu, suaminya mana?”
“Suami saya sibuk jualan, dia penjual tahu.”
“Lagian saya suster, saya juga konsultan kesehatan di kantor camat.”
Intinya, Shioka mau bilang gini.
“Suami saya kayaknya nggak kuat deh. Pan dia orang awam. Kalo saya mah orang kesehatan. Jadi saya lebih ngerti dan lebih siap dari dia.”
Yo wess..
Jadilah Mizuno Sensei menjelaskan perihal penyakit Spinocerebellar Atropy secara mendetil ke Shioka. Beliau shock dan sulit sekali untuk menerima kenyataan.
“Sensei, kono ko wa mada juu go sai…”
“Dokter, anak itu umurnya baru lima belas tahun loh…”
“Tapi ini adalah kenyataan, Bu,” Mizuno Sensei berusaha meyakinkan Shioka, bahwa sepahit apa pun, ini adalah kenyataan. Dan harus dihadapi. Jangan lari dari kenyataan. Segera ditindak lanjuti. Ditatalaksanakan. Minum obat. Terapi. Jangan didiemin aja. Penyakit jalan terus.
Dan Mizuno Sensei berpendapat bahwa Shioka harus ngasih tau perihal penyakit ini ke keluarga. Ke Aya terutama. Tapi Shioka menolak.
“Beri saya sedikit lagi waktu.”
Mizuno Sensei cuma bisa menarik napas panjang.
“Duh, ni Ibu, bener-bener dah…”
Jadilah Shioka menyimpan kegalauan ini seorang diri. Nggak mau keluarga jadi susah.
Tapi akhirnya beliau nggak tahan.
Saya kayaknya nggak sanggup deh nyimpen ini seorang diri. Saya harus berbagi dengan suami saya.
Pas Shioka ceritain ke suaminya. Bener aja.
“Shinjirarenai!”
“Tidak bisa dipercaya!”
“Nggak mungkin, nggak mungkin. Dia kan baru 15 tahun…”
Lha, penyakit mana mengenal usia, Pak. Bayi baru lahir aja kalo ditakdirin sakit ya sakit aja.
Ketika Shioka udah lebih siap, eeh giliran suaminya yang galau.
Soalnya Aya ini orangnya ceria banget. Dia jago basket di SMA-nya. Dia juga jadi dirigen di kelas. Tiap pagi bangun subuh buat bantuin papanya bikin tahu. Dan kini, siapa nyana. Kenyataan memang kadang berpihak ke arah yang tidak kita inginkan.
Pas nonton Aya berlatih basket di sekolah, papanya Aya menonton dengan mata berkaca-kaca.
“Kayaknya nggak mungkin deh Aya sakit. Gerakannya cekatan, bidikannya tepat, akurat…” beliau curhat ke istrinya. Shioka cuma bisa ngangguk-ngangguk, sepakat.
Begitu pun waktu nonton paduan suara yang didirigeni oleh Aya. Lantunan lagu “San gatsu kokonoka” yang artinya “9 Maret” mengalun merdu. Tapi Shioka dan suaminya tidak bisa menikmati seperti penonton lainnya. Mereka berdua menangis.
“Kayaknya nggak mungkin ya anak kita sakit. Dia begitu hebat…” kata papanya Aya.
Lalu akhirnya Shioka ngajakin suaminya ke RS. Konsultasi ke Mizuno Sensei.
Pas ketemu, papanya Aya langsung curhat.
“Aduh saya nggak bisa percaya kayaknya, Dokter. Aya tuh lagi sedeng-sedengnya. Dia pemain basket di sekolah. Gerakannya dan bidikannya akurat banget. Dia juga dirigen di kelas.”
Mizuno Sensei hanya mendengarkan aja. Ya wajarlah. Siapa pun dia pasti shock kalau divonis menderita penyakit tertentu. Perlu waktu buat bisa menerima segalanya. Tidak hanya pasien, tapi keluarganya juga.
Setelah mendengarkan curhatan papanya Aya, lalu Mizuno Sensei menjelaskan tahapan-tahapan yang harus dijalani oleh Aya.
Setelah Shioka dan suaminya, sekarang giliran Aya yang harus dikasih tahu tentang penyakitnya. Ini adalah bagian tersulit. Shioka ngajakin Aya ke Jonan Hospital, konsul dengan Mizuno Sensei.
Mizuno Sensei nggak secara terus terang ngasih tau penyakit Aya. Beliau cuma bilang Aya harus menjalani rehabilitasi. Lha, bingunglah Aya, gue sebenernya sakit apa, kok pake direhabilitasi segala.
Sampe rumah, Aya diem aja, nggak selera mau ngapa-ngapain. Shioka berusaha menghibur. Seolah nggak terjadi apa-apa.
Tapi tiba-tiba,
“Okaasan, doushite, kono byouki watashi wa eranda no?”
Mama, kenapa penyakit ini memilih saya?
Shioka tercekat.
“Aya…” Beliau nangis sambil meluk Aya.
“Aya…Aya. Mari hadapi ini bersama…”
Itulah sekelumit cerita dari sinetron Jepang “1 Litre of Tears.” Sinetron yang betul-betul menguras air mata ini mengajarkan kepada kita, bahwa bagian tersulit adalah menerima kenyataan ketika kita divonis menderita penyakit tertentu.
Setelah kita menerima, tahapan selanjutnya, entah itu minum obat, terapi, kemoterapi, operasi dan sebagainya, akan lebih mudah.
Dan pihak yang berperan penting adalah seluruh anggota keluarga.
Jika anggota keluarga mendukung, niscaya pasien akan merasa optimis dan mempunyai harapan untuk sembuh. Pada akhirnya, Allah jua yang menakdirkan pasien akan sembuh atau tidak. Namun dukungan keluarga akan membantu pasien dalam menjalani hari-hari sulit itu.
Gambatte ne, Aya chan. O daiji ni.
Semangat ya Aya chan. Semoga lekas sembuh