Putrajaya. Sudah beberapa kalo berencana hendak berkunjung ke sini, namun selalu saja tergusur oleh agenda lain yang sifatnya dadakan. Siapa nyana, kali ini Allah memperkenankan aku untuk mengunjungi Putrajaya. Pada kesempatan yang sangat baik, yaitu bulan Ramadan, bulan mulia yang kedatangannya dinanti oleh jutaan umat Islam di seluruh dunia. Alhamdulillah.
Kami ke Negeri Jiran pada H-5 sebelum puasa. Jadi, Ramadan hari pertama kulalui di sini, jauh dari keluarga, sanak saudara dan tetangga. Tapi masih syukur dekat dengan suami dan sahabat-sahabatnya. Ada nuansa lain yang sangat berkesan bagi diriku pribadi dan terus terang, langka. Sewaktu pusing-pusing di Kuala Lumpur pada H-1 Ramadan, di dalam mobil Pak Rizal, entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba datang ide untuk berbuka puasa di masjid. Dan masjid manakah gerangan yang akan kami sambangi? Tepat sekali, Masjid Putrajaya. Subhanallah.
Di Putra Jaya, ada dua masjid yang representatif untuk berbuka puasa: Masjid Putra dan Masjid Besi. Ihsan, -mahasiswa suamiku-sebenarnya lebih merekomendasikan Masjid Putra. Namun Bu Endang punya pertimbangan lain. Masjid Putra lebih sempit, formal dan berkarpet. Tunggu dulu. Berkarpet? Kenapa rupanya dengan karpet. Bukannya justru nyaman? Begini ceritanya. Bu Endang punya banyak anak yang masih kecil-kecil. Beliau takut anak-anaknya akan mengganggu jamaah yang lain, atau menumpahkan air, misalnya. Kan berabe. Bisa-bisa dimarahi oleh petugas masjid dan para jamaah kan.
Bu Endang merekomendasikan Masjid Besi. Alasannya karena luas dan tidak berkarpet, sehingga aman buat anak-anak. Mau lari-larian pun bisa. Suasananya pun non formal, jadi kita lebih bebas. Ya sudah, akhirnya kami memilih Masjid Besi. Tapi tunggu sebentar, ada yang menggelitik sedikit. Ngomong-ngomong, kenapa namanya Masjid Besi? Menurut Ihsan, dinamakan begitu karena tiang-tiang dan plafonnya terbuat dari besi, 70 persen besi dan 30 persen beton. Ooo…
Tepat di hari H, rombongan kami pun bertolak. Terdiri dari tiga mobil, yang berisi para mahasiswa S2 dan S3 yang sedang studi di Universiti Kebangsaan Malaysia. Aku berada dalam mobil yang berisi keluarga Pak Rizal, beserta dua orang tamu dari Aceh, yang dipanggil Pakcik dan Makcik. Mobil Pak Rizal berangkat lebih dulu, karena kami ingin pusing-pusing Putrajaya. Sedangkan dua mobil lagi berangkat belakangan. Soalnya mereka orang-orang Aceh yang tinggal di Malaysia, bukan turis seperti kami, hehe.
Namun sayangnya, kami salah memilih jalan. Terjebak macet, karena bersamaan dengan bubarnya pegawai kantor. Ealah. Seharusnya tadi memilih jalan kampung. Ya sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Gakpapa juga lagi, kan sekalian melihat ramainya suasana menjelang berbuka puasa. Sama seperti di tanah air juga, ada tenda-tenda tempat orang jualan takjil, semacam pasar bedug gitu. Aku jadi ingat suasana di Darussalam, tempat tinggalku. Kalau sore-sore begini ramainya minta ampun.
Sehabis itu menyempatkan diri ke Masjid Putra, sebelum bertolak ke Masjid Besi. Tapi hanya sebentar karena diburu waktu. Setelah itu barulah kami melesat pergi. Dan tibalah kami di Masjid Besi, masjid tujuan kami. Dari luar masjid ini tampak biasa saja. Tapi begitu masuk ke dalam, baru kelihatan megahnya. Aku sedikit bengong melihatnya. Terdiri dari tiga lantai. Ruangan sholat dan ruangan berbuka puasa terletak di lantai 2, sedangkan tandas (toilet) dan tempat wuduk berada di lantai 1. Ternyata masjid ini bernama sangat keren: Masjid Tuanku Mizan Zainal Abidin. Nama ini berasal dari nama Seri Paduka Baginda Yang di-Pertuan Agong XIII, Al-Wathiqu Billah Tuanku Mizan Zainal Abidin Ibni Al-Marhum Sultan Mahmud Al-Muktafi Billah Shah. Subhanallah panjangnyee…
Kami berwuduk terlebih dahulu sebelum melangkah ke lantai 2, karena kuatir antrian akan panjang nantinya. Namun ketika kami ke lantai 2, ruangan telah penuh dengan jamaah. Waduh! Mereka duduk lesehan, di hadapannya tersedia kurma, kue dan limun. Sambil berjalan mataku sibuk memandangi para jamaah. Waduh ini ibu, bukannya ngeliat ke depan, malah jelalatan ke mana-mana, hehe. Kulihat mereka ada yang pergi secara berkelompok. Dilihat sepintas lalu, sepertinya keluarga. Dan coba terka apa ada di depan mereka? Rantang, Saudara-saudara. Sambil berjalan aku berpikir,
”Ngapain bawa-bawa rantang, mau buka puasa atau mau pikinik?” Tapi biarlah. Suka-sukalah. Apa pula repot. Akhirnya kami menemukan tempat lowong di salah satu sudut. Syukurlah. Dan di situ masih terselip kurma dan kue. Terimakasih ya Allah. Tapi sayang limunnya tidak ada, sehingga kami terpaksa meminta pada panitia. Syukurnya persediaan limun masih banyak, satu gentong besar. Namun melihat begitu banyak es batu di dalamnya, hatiku ciut. Aku tidak bisa minum dingin, biasanya langsung batuk. Namun kutuang juga minuman dalam gelas, seperti lagu Farid Harja aja, hehe.
Harapanku tak lama kemudian limun akan menjadi hangat. Impossible banget kan. Hanya berbilang detik, azan magrib pun berkumandang. Setelah mengucap doa berbuka puasa, aku segera melahap kurma dan kue. Tak berani menenggak limun dingin. Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati, begitu kata pepatah. Jadi walaupun tenggorokanku seret, tetap kutahan jua. Kelak akan tiba masanya bagiku untuk mendapat siraman rohani, eh, siraman air minum. Jadi bersabarlah wahai Mala.
Setelah berbuka puasa, kami segera bergegas menuju ke ruangan sholat. Baru kusadari ternyata ruangan ini tidak berdinding. Aku melayangkan pandangan ke depan, ke tempat saf jamaah pria (sempat-sempatnya). Kulihat semburat awan merah membahana. Amboi indahnya. Hatiku gelisah, ingin rasanya mengabadikan kesempatan indah ini. Hei, tapi ini kan sedang sholat. Sadarlah wahai Mala. Jadi aku menguburkan impianku dalam-dalam dan mencoba menyimak bacaan imam. Suara imam yang yang jernih dan fasih membuatku terkesima. Menurut Bu Endang, para imam di sini semuanya tahfidz dan banyak yang lulusan Madinah. Jadi tak heran kalau bacaannya fasih begini. Subhanallah.
Selesai sholat sebetulnya aku ingin melanjutkan dengan sholat sunat Rawatib. Tapi kulihat Bu Endang sudah melipat mukenanya, jadi aku mengurungkan niatku. Aku mengikuti jejak beliau untuk segera melesat ke ruang makan. Dan oh tidak, beberapa orang sudah berjejer membentuk antrian. Untunglah dalam waktu yang tidak terlalu lama, kami berhasil mendapatkan sepiring nasi, ayam goreng, ikan beserta tumis kangkung. Lho, kok mirip-mirip dengan makananku sehari-hari ya? Ya, namanya juga negara serumpun, ya miriplah pastinya.
Alhamdulillah. Aku menikmatinya dengan perasaan nyaman dan penuh syukur. Untung tadi gerak cepat, walaupun harus mengorbankan Rawatib. Dan di sekeliling kami, masih banyak orang yang mengantri. Hatiku diliputi rasa kasihan, tapi ya mau bagaimana lagi. Mungkin bisa jadi pengalaman, habis sholat magrib jangan berlama-lama lagi, segeralah melesat ke ruang makan kalau tidak ingin mengantri. Boleh Rawatib tapi cepat-cepat aja (yaa, gak khusyuk dong…) Tapi melihat begitu panjangnya antrian, aku jadi mengerti, mengapa jamaah banyak yang membawa rantang. Rupanya mereka malas mengantri. Oooh pantesan. Terjawab sudah misteri rantang.s
Selesai makan, aku menenggak limun, sekarang sudah gak dingin lagi. Betul kan, akan tiba masanya, so, sabar itu emas. Percaya deh.
Karena buang angin, terpaksa aku turun lagi ke lantai 1, ditemani Makcik dan Fathiya, anak Bu Endang yang kedua. Kami memilih lift, tapi ternyata penuh. Terpaksalah menunggu lift berikutnya. Lumayan lama juga nunggunya. Akhirnya lift yang kami nanti tibalah. Segera melesat masuk ke dalam. Ketika pintu lift hendak tertutup, tiba-tiba…
“TAHAN!” Seorang bapak-bapak gendut tergopoh-gopoh menuju lift. Diikuti oleh dua orang ibu-ibu. Aku mengeluh dalam hati. Lift ini sudah lumayan sesak. Masak harus nambah penumpang lagi sih. Begitu mereka masuk, “TIIIT!” Alarm berbunyi.
“Ape tu?” tanya si bapak.
“Overweight,” suara lrih seorang wanita di belakang.
“Overweight ke?” Si bapak kebingungan. Lalu membaca petunjuk dalam lift.
“Hem. Twenty one persons!” Dengan senyum penuh kemenangan beliau menunjuk ke tulisan “Capacity 21 persons”.
Oke, oke. Tapi badan bapak setara dengan tiga orang, Pak. Gumamku dalam hati. Anehnya, walau berbunyi “tiiit” tapi lift itu tetap mau naik juga. Pasrah kali ya. Lanjuut.
Selesai dari tempat wuduk kami kembali ke atas. Kali ini lewat tangga. Kapok nunggu lift. Lebih cepet jalan kaki. Ternyata bukan tangga tapi eskalator, jaraknya lebar-lebar pula. Hadeuh. Lumayan terengah-engah juga jadinya.
Singkat cerita, kami lanjut sholat taraweh, dua rokaat-dua rokaat. Selesai sholat mataku malah jelalatan memperhatikan bagian-bagian masjid. Ternyata masjid ini indaaah banget. Juga mewah. Dan wajar kalau disebut Masjid Besi. Masjid yang dibangun dengan dana RM 200 juta ini (ckckck) menggunakan 6000 tan besi. Di bagian depan atas ada tulisan ayat-ayat al-Quran yang ditorehkan dalam lapisan kaca setinggi 13 meter yang idenya merupakan gabungan dari kesenian Jerman dan China. Bagian kanan cermin dinukilkan ayat 40 hingga 47 surah Ibrahim manakala di bagian kiri ayat 148 hingga 153 surah al-Baqarah. Pintu utama menuju ke ruang sholat utama pula kelihatan ukiran ayat 80 surah al-Isra’ dan pintu gerbang utama dibangun dari beton putih yang dilatari tulisan kaligrafi 99 nama Asma’ Ul-Husna. Subhanallah. Again and again.
Katanya kalau di Malaysia sholat tarawehnya 23 rakaat semua. Baru empat rokaat, aku berasa sudah gak kuat lagi. Duh, kayak anak kecil aja. Begitu aku menoleh ke belakang, kulihat Bu Endang mengacungkan dua jarinya membentuk “victory”. Hah? Berarti 11 rokaat nih? Alhamdulillah.
Ternyata boleh 11 rokaat boleh 23 rokaat, terserah mau pilih yang mana. Aku jadi ingat Mushola Al-Muhajirin di komplekku. Sebagian besar 11 rokaat. Tapi sebagian kecil jamaah ada yang 23 rokaat. Jadi ketika kami bubar, mereka tetap meneruskan sholat. Win-win solution kan. Di Masjid Besi, kondisinya juga serupa. Jadi begitu selesai delapan rokaat, sebagian jamaah ada yang bubar, ada yang mundur ke belakang. Suasananya sungguh kocar-kacir. Aku termasuk dalam rombongan yang membubarkan diri. Halah.
Sehabis taraweh, kembali ke tempatduduk tadi. Menurut Bu Endang, akan ada teh manis dan kue-kue. Jadi kami harus gerak cepat lagi. Pengalaman, Men. Sampai meja, yang ada cuma roti tanpa isi. Agak kurang semangat gitu jadinya. Pengennya risol atau apalah yang gurih-gurih. Maklum lidah Indonesia. Tapi ya sudah deh. Kuambil mangkok dan kuisi roti dua biji. Satunya buat anak Bu Endang. Ternyata Bu Endang mengambil beberapa roti buat anak-anaknya. Waah, gak kebanyakan nih? Terus, teh manisnya mana ya? Di meja sebelah sana kulihat sudah berjejer antrian. Duh, rasanya gak sanggup mau ngantri lagi. Ternyata bubur kacang ijo. Wah enak tuh, tapi perutku sudah keburu penuh. Makan setengah roti aja perutku sudah sesak.
Tak lama, teh manis datang. Alhamdulillah, kuisi dua gelas. Satunya kuberikan pada Makcik. Kuhirup teh manis dengan perlahan. Rasanya sungguh nikmat. Menurutku, inilah teh yang ternikmat yang pernah kurasakan di dunia ini. Ah apa iya? Mungkin karena mendapatkannya dengan susah payah ya? Atau karena sudah diidam-idamkan dari buka puasa tadi? Maybe yes or maybe no.
Habis ngeteh, iseng-iseng buka hp. Ada panggilan tak terjawab. Mungkin dari pak Rizal nih. Kutelfon balik. Ternyata beliau sudah nunggu di parkiran. Oh ya sudah, buru-buru balik. Padahal niatnya sih pingin foto-fotoan. Pemandangan keliling bagus banget. Masjid ini dikelilingi oleh air! Hah? Jadi ceritanya masjid terapung gitu?
Ternyata bukan. Masjid ini bersebelahan dengan danau, namanya Tasik Putrajaya. Kilauan cahaya lampu yang memantul pada danau pastinya membuat pemandangan bertambah indah. Jiwaku yang senantiasa mendamba kedamaian dan ketenangan seakan menemukan muaranya. Duileh. Nampak Masjid Putra di kejauhan, juga jembatan gantung. Ingin rasanya berlama-lama serasa bernarsis ria. Tapi berhubung sudah ditunggu pak Rizal ya gak mungkin deh. Good bye Masjid Besi. Mudah-mudahan bisa balik ke sini lagi someday.