“Micut, kalau mau beli baju kurung di mana ya?” tanayku pada Micut Fah, adik sepupu ibu mertuaku.
“Di belakang Masjid India,” jawab Micut Fah.
Dahiku berkerut. Di belakang Masjid India? Kenapa di“belakang”? Kenapa enggak di “depan”? Sama aja kali. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa lokasi tersebut.
“Terus, kalau mau beli kue-kue di mana, Micut?” tanyaku lagi.
“Di belakang Masjid India juga. Di situ ada kue-kue Aceh seperti bhoi, dodol, meusekat. Malah dijual juga kue-kue yang di Aceh sendiri udah jarang kita liat. Selain itu banyak juga barang-barang lainnya. Di situ memang tempat shopping,” imbuh Micut Fah.
Ooh, tempat shopping, pantesan lengkap banget ya di sana. Ada baju, kue, dan barang-barang lain juga. Tapi, apa hubungan shopping dengan Masjid India? Hm, jadi makin penasaran nih, tapi nggak yakin bisa mencapai tempat itu. Karena aku kan pergi bareng suami dan teman-temannya para dosen. Jadi ya harus mengikuti jadwal mereka dong. Apa mereka mau ya diajak shopping.
Manusia boleh berharap, Allah jua yang memutuskan. Perjumpaanku dengan Bu Riah menguatkan harapan yang hampir pupus. Duileh. Btw, siapakah itu Bu Riah? Beliau adalah istri dari Pak Arhami. Jadi begini, Pak Arhami adalah teman suamiku sesama dosen Tehnik Unsyiah. Dan kebetulan mereka adalah tetanggaku di Darussalam, Banda Aceh. Beliau sedang mengambil studi doktor di Universiti Tun Husein On (UTHM) di Johor. Aku dan Riah sudah merencanakan perjumpaan ini sekitar dua bulan yang lalu, tepatnya di akhir September 2012. Saat itu aku dan suami beserta teman-temannya pergi ke Malaysia untuk kunjungan dinas. Sampai di Malaysia aku segera menelefon Riah. Dengan nada terkejut beliau menyatakan keheranannya.
“Kirain aku cuma bapak-bapak aja yang datang. Rupanya kak Mala ikut juga? Aduh, sedihnya aku nggak bisa jumpa dengan Kakak,” kata Riah dengan nada menyesal.
“Ya lumayanlah Riah bisa denger suara. Nanti besok-besok mudah-mudahan bisa jumpa,” hiburku.
Rupanya Allah mendengar rintihan kami, rakyat jelata yang tak punya apa-apa. Walah. Akhir November aku balik lagi ke KL. Fortunately bertepatan pula dengan liburan anak sekolah di Malaysia. Guest what? Keluarga Arhami merencanakan ketemu dengan kami di KL. Senangnyaa…
Perjumpaanku dengan keluarga Arhami merupakan hiburan yang luar biasa bagiku. Rasa rindu setelah lima tahun tak bersua akhirnya terbayar sudah. Aku sampai di Sungai Tangkas pada Senin siang sedangkan Riah pada Rabu malam. Esoknya kami ngerumpi berjam-jam di rumah Pak Sabri. Kak Faridah, istri Pak Sabri menemani kami sembari menyediakan makanan yang lezat. Wow. Segera saja kami mengatur rencana dengan antusias. Saat itu sedang ada festival tanaman di Universiti Putra Malaysia (UPM). Aku dan Riah yang sama-sama penyuka gardening segera saja menjadikan festival di UPM itu sebagai target utama kami.Dan target kedua adalah…guess what? That’s right: Masjid India! Yokattaa…
Jumat pagi, aku menelefon Riah. Dan ternyata ada perubahan jadwal. Menurut Kak Faidah, ke UPM sebaiknya sore hari, karena puanass terik kalau siang-siang gini. Mendingan ke Masjid India aja dulu. Yo wesslah, kita mah ngikut aja. So, dengan wajah sumringah aku mendatangi rumah Kak Faridah, siap ber-vacancy bareng adik tercintaku nan ceria, Riah.
Dari stesen UKM kami bertolak ke stesen Bank Negara. Mampir di SOGO department store sebentar, lalu menyusuri trotoar demi trotoar. Banyak toko-toko yang menjual kain, jilbab dan baju. Penjualnya rata-rata orang India. Suasananya mirip-mirip di Pasar Baru, Jakarta. Hm, teringat masa kecilku dulu saat beli baju lebaran. Jadi nostalgia deh.
Setelah itu kami membeli gorengan dan makan di taman depan perkantoran sambil cerita-ceriti. Riah mengajakku main ke Johor, sekalian ke Malaka, dan Singapura. Hm, siapa yang tidak tergiur. Moga suatu saat nanti Allah mudahkan langkah kami ke sana. Aamiin. Pak Arhami mengeluarkan kue kesukaannya, bhoi. Mataku langsung berkaca-kaca. Bhoi itu adalah oleh-oleh pemberianku dari Banda Aceh. Pemberianku yang tidak seberapa itu ternyata begitu dihargai. Hal itu membuat hatiku menghangat. Selesai beristirahat kami melanjutkan perjalanan. Menyusuri trotoar lagi. Sampai di sini kami bingung hendak kemana. Riah janjian dengan Bu Nana Iqbal di depan Mydin. Tapi masalahnya, di manakah gerangan letak Mydin itu? Lagi bingung-bingung aku teringat Teteh Nurul, sahabatku. Segera kutelefon menanyakan alamat. Setelah dijelaskan oleh Teteh, ternyata kami udah kelewatan. Terpaksa berbalik arah dan menyeberang ke kanan. Dan terpampanglah di sana: Mydin. Melihat tulisan itu aku terkikik-kikik dalam hati. Kupikir selama ini tulisannya “Mahidin”, ternyata “Mydin”. Oalaah.
Sampai di sana ternyata Bu Nana masih di jalan. Jadi aku dan Riah memutuskan untuk keliling cuci mata. Lumayan jilbabnya bagus-bagus. Tapi warnanya ngejreng banget. Terus terang aku nggak biasa pakek jilbab ngejreng begini. Jadi ya cuma liat-liat aja. Pak Arhami, Upi dan Dinda menunggu di taman. Ada beberapa pedagang asongan yang nawarin mainan, CD, dan lain-lain. Wah sama juga kayak di Indonesia yak. Aku dan Riah balik lagi ke taman. Riah ngebeliin bola yang bisa kecil dan bisa besar, untuk Upi dan juga untuk Fadhil-Fadhli, my twin brother. Makasih ya cintaa. Sementara aku beli CD Murottal Al Quran.
Syukurlah nggak lama Bu Nana datang. Terus terang ini adalah pertemuanku yang pertama kali dengan Bu Nana. Padahal suami kami sama-sama di Tehnik Mesin Unsyiah. Oalah. Ya maklumlah, aku kan lama melanglang buana di Jepang. Pas aku pulang, gentian Bu Nana yang ke Malaysia, jadinya selisih jalan kan. Orangnya tinggi, putih dan cantik. Setelah salam-salaman, beliau langsung ngajak makan. Wah kebetulan banget nih. Sudah tentu tawaran menarik itu tidak kami sia-siakan.