Musim gugur selalu menimbulkan pesona tersendiri. Saat berjalan menuju Miyamaedaira stasiun; Kawasaki, ada jalanan yang menanjak di sebelah kanan. Aku selalu menolehkan wajahku ke sana. Di situ tampak jejeran pohon Ginkgo biloba. Batangnya yang hitam legam tampak kokoh. Guratan-guratan yang menghiasinya mengingatkanku pada batang pohon pinus. Daun-daunnya yang kuning keemasan, menambah suasana syahdu yang kurasakan; sedikit romantis mungkin. Berdiri di bawah pohon ginkgo dengan daun-daunnya yang berguguran, membuatku ingin menjadi seorang penyair. Niat hati ingin menggubah puisi, ataupun kata mutiara, namun sayangnya ku tak mampu. Hanya bisa menatap daun-daun yang menari-nari ditiup angin. Bagai rambut pirang gadis cilik, berkibar-kibar ditiup angin.
Ginkgo biloba atau Ichou dalam bahasa Jepang sering ditemui di pinggir-pinggir jalan. Pemerintah Jepang senang menanam pohon ginkgo dikarenakan indah saat musim gugur. Penduduk setempat juga sering memakan buahnya karena berkhasiat menyehatkan otak. Tak hanya indah, ginkgo juga menyehatkan, subhanallah. Namun ada yang membuat galau di hati. Pohonnya yang tinggi besar, kokoh dan hitam, bagaikan pohon raksasa. Namun agak kontras, daunnya -yang mirip daun suplir- kecil-kecil. Mengapa pohon besar ini daunnya kecil-kecil? Heran namun berusaha tahu diri, takut untuk menghakimi ciptaannya. Sang Maha Pencipta tentu tahu apa yang terbaik bagi ciptaan-Nya. Diriku yang lemah ini masih meraba-raba, mencoba mencari rahasia yang menunggu untuk disingkap.
Bertahun kemudian waktu berlalu. Dari hiruk-pikuk Kawasaki, kami pindah ke Kawagoe, sebuah distrik di bilangan Saitama. Suasana asri, alami dan menyejukkan mata, kutemui hampir di setiap sudut. Seperti November pagi ini, hatiku begitu sumringah menatap daun-daun ginkgo di halaman Toyo University, Kawagoe. Tak puas-puasnya aku menatap barisan ginkgo yang berjajar rapi di kiri kanan jalan, laksana pengawal yang mengucapkan selamat datang pada para tamunya. Lagi, hanya satu kata yang terucap: Subhanallah. Maha Suci Allah dengan segala ciptaan-Nya.
Helai-helai daun kuning keemasan melayang di udara, seakan mengucapkan selamat tinggal. Pada semua yang dicintai, pada dunia yang fana ini, untuk yang terakhir kali. Aku terpekur, meresapi segala kesyahduan yang ada. Hatiku bertambah takjub menatap daun-daun ginkgo yang berserakan di tanah. Daun kuning keemasan, yang telah bercampur dengan daun kecoklatan, masih menampilkan pesonanya, mungkin untuk yang terakhir kali. Hatiku bergidik. Ibarat manusia, walau nyawa sudah berpisah dengan jasad, namun masih bermanfaat, lewat karya bagi umat. Sebersit iri, diam-diam menyelinap dalam sanubari. Mampukah aku, kelak, bersikap seperti ginkgo? Tetap mewariskan manfaat meski roh telah berpisah dari jasad? Semoga ya Allah, semoga.
Bumi Kawagoe berselimut hijau, kuning, cokelat. Alam terpekur, seolah bertasbih memuji-Nya. Aku bersiap untuk pulang. Jalanan aspal yang telah disapu bersih, mulai dikotori oleh helai-helai ginkgo. Hm, betapa rajinnya para penyapu jalan ini. Berapa kali sehari ya mereka menyapunya. Untung daunnya kecil-kecil. Astaghfirullaahal ‘azhiim. Teringat renunganku bertahun silam. Seandainya daun ginkgo besar-besar, alangkah lelah menyapunya. Sungguh Allah memang Maha Tahu. Sungguh tak patut diri ini menghakimi ciptaan-Nya.