Mata Najwa malam itu membahas tentang kiprah para lawyer. Beberapa lawyer kawakan diundang ke studio, menceritakan sepak terjang mereka. Aku, sebagai orang awam, terkadang tidak mengerti, mengapa seorang lawyer, atau pengacara, mau membela orang yang kita anggap “tidak seharusnya dibela”. Nah, di Mata Najwa ini, Najwa Shihab berusaha mengorek rahasia, mengapa para lawyer ini terkadang mau membela orang yang dianggap “tidak seharusnya dibela” itu. Alfan Sari, seorang lawyer kawakan, tidak luput dari pertanyaan ini. Dan beliau menjawab,”Semua yang ada di dunia ini, sudah ada yang Menetapkan, saya hanya tinggal menjalaninya.” Sampai di sini aku sudah langsung paham. Siapa yang Menetapkan? Tak lain dan tak bukan adalah Allah Azza wa Jalla, Sang Maha Penggenggam dunia ini. Beliau melanjutkan,”Semua sudah ada yang men-Desain, dari A sampai Z. Saya tidak pernah menyesal.” Aku berusaha mencerna perkataan beliau dalam-dalam. Saya tidak pernah menyesal, karena semua itu sudah ada yang men-Desain, sudah ada yang Mengatur.
Aku merenung. Kepergian Pak Ridha meninggalkan luka yang mendalam. Tak hanya itu, juga menyisakan penyesalan. Mengapa di hari-hari terakhir, aku kurang melayani beliau. Sejak kedatangan As’ad tanggal 9 Agustus, aku terlena. Waktu makan, aku memanggil As’ad,”As’ad, tolong suapin Bang Muhammad.” “As’ad, tolong duduk di sini, jagain Bang Muhammad.” Yah, pokoknya, dikit-dikit, aku minta bantuan As’ad. Yang lebih “nyesek” lagi, sampai ajal menjemputnya, aku nggak sempet minta maaf ke Pak Ridha. Nggak sempet mencium tangannya, meminta keridhoannya. Ya Allah, semoga Pak Ridha mau memaafkan diriku.
Aku “kendor” di akhir, sehingga tidak menyadari bahwa “waktu”nya sudah dekat. Aku tidak menyadari sinyal-sinyal yang diberikan Pak Ridha. Aku tidak peka, tidak tanggap. Pernah di suatu siang Pak Ridha meneteskan air mata, tanpa didahului oleh suatu kejadian pun. Melihat hal itu aku keheranan, “Ayah, kenapa nangis?” Tapi Pak Ridha tidak menjawab. Aku hanya mengelap wajahnya dengan tisu, tanpa berusaha mencari tahu. Baru sekarang kumengerti bahwa Pak Ridha sudah mengetahui bahwa “waktunya sudah dekat” tapi beliau tidak sampai hati untuk memberi tahuku.
Begitu pun saat Sabtu pagi tanggal 13 Agustus 2016, aku pamit mau ke Nuga Best, aku menangkap ketidaksenangan di mata Pak Ridha. Aku teringat kata-kata Bang Zen,”Pak Ridho itu nggak suka kalau Bu Mala pergi-pergi. Pak Ridho maunya Bu Mala duduk terus di samping beliau.” Gara-gara, waktu itu aku ke Bandara Abdur Rahman Saleh menjemput Bang Taufik, abang iparku. Bareng Bang Zen dan Farah, bungsuku. Aku sebel habis nggak pernah jalan-jalan, di rumah terus, sedangkan anak-anakku jalan-jalan melulu. Gantian dong, pikirku. Jadi aku nyuruh Faisal jagain Pak Ridha sementara aku pergi. Tau-tau Pak Ridha jatuh di kamar mandi. Sejak itu, aku jarang pergi-pergi kalau tidak ada keperluan yang mendesak. Paling-paling ke pasar bareng Bu Yatin, belanja. Atau bekam ke Mbak Ani. Kalau pergi jalan-jalan, aku selalu mengajak Pak Ridha. Tidak pernah sampai hati untuk meninggalkan beliau di rumah. Seperti waktu aku pergi bareng Tanty dan Wenny ke Kusuma Agrowisata, Pak Ridha ikut juga walaupun beliau hanya menunggu di mobil. Begitupun waktu ke Selecta bareng Mama dan Sari, dan ke Coban Rondho bareng Pak Waris dan keluarga. Kalau waktu itu sih Pak Waris memang niatnya mau ngajak jalan-jalan Pak Ridha.
“Ayah, Mala mau ke Nuga Best ya, mau terapi.” Kuulangi lagi dan kukeraskan kata “terapi”. Karena aku berpendapat bahwa terapi tidak sama dengan jalan-jalan. Aku pergi bukan untu bersenang-senang, tapi untuk terapi, untuk berobat. Karena semalam begadang, pas bangun pagi aku kurang fresh karena masih ngantuk. Aku berharap setelah terapi nanti aku bisa fresh lagi, bisa nulis lagi.
Lha, aku sudah menangkap ketidaksenangan di mata Pak Ridha, kanapa masih pergi. Kalau aku tahu itu adalah hari terakhir Pak Ridha, pasti aku akan mengurungkan niatku. Aku akan duduk terus di sampingnya, melayaninya, menanyakan apa yang beliau pinta. Tapi siapa yang tahu? Who know, Mala? Who know?
Penyesalanku yang lain adalah sewaktu Pak Ridha muntah tanggal 13 Agustus jam 11 malam. Aku langsung berteriak memanggil As’ad dan Papa yang tidur di lantai dua. Tapi mereka tidak mendengar, mungkin sudah tidur. Aku berniat meminta pertolongan dan mengganti baju Pak Ridha yang terkena muntah. Saat melihat muntahnya yang berwarna coklat, aku langsung paham, bahwa ini sepertinya tanda-tanda akhir. Aku langsung melantunkan talqin di telinga Pak Ridha, walaupun beliau tidak merespon, tapi aku berharap setidaknya beliau mendengar. Aku kepingin naik ke atas memanggil As’ad. Tapi kemudian kulihat Pak Ridha tidur lagi. Biasanya, kalau Gus Yunus datang dan Pak Ridha sedang tidur, Gus Yunus melarangku untuk membangunkan Pak Ridha. “Udah Bu nggak usah dibangunin. Ini masalah syaraf otak soalnya. Gakpapa, besok saya dateng lagi.” So, kalau Pak Ridha sedang tidur, tidak ada yang bisa dilakukan. Hanya menunggu sampai beliau bangun. Akhirnya, aku mengurungkan niatku untuk mengganti baju Pak Ridha, karena takut beliau terbangun. Besok ajalah, pikirku. Dan aku juga mengurungku niatku untuk memanggil As’ad. Untuk apa? Toh Pak Ridha tidur.
Selanjutnya aku berniat tidur di samping Pak Ridha. Tapi beliau (maaf) tidur mengorok. Aku berpikir kalau aku tidur di sini sepertinya tidak akan bisa lelap. Saat itu, otakku memerintahkan,”Mala, kamu harus tidur lelap karena besok adalah hari yang sangat melelahkan.” Jadi, aku tidur ke kamar, sedangkan Pak Ridha tidur di spring bed di ruang tengah. Pintu kamar sengaja tidak kututup supaya kalau ada apa-apa bisa cepat bertindak.
Penyesalan demi penyesalan yang menyesakkan dada, yang menghantui ke mana pun aku pergi, alhamdulillah sirna mendengarkan pernyataan dari pak Alfan Sari. Semua sudah ada yang men-Desain, dari A sampai Z. Aku sudah berniat ke atas untuk memanggil As’ad. Tetapi Allah sudah Mengatur bahwa aku tidak ke atas, tetapi melainkan ke kamarku sendiri untuk tidur. So, kakiku tidak bisa digerakkan ke atas. Aku sudah berada di bawah tangga. Memandangi anak-anak tangga aku berpikir,”Kok kayaknya capek ya, nggak usah ajalah.” Setidaknya itu menjadi pelipur laraku bahwa aku sudah berniat untuk ke atas memanggil As’ad. Tapi Allah sudah menetapkan takdir-Nya. Allah berkehendak bahwa As’ad dan Papa harus beristirahat, tidak begadang semalaman. Karena esok, tugas besar telah menanti. Keesokan harinya, ketika Pak Ridha menghembuskan nafas terakhir, As’adlah yang mendampingi jenazah dari Malang ke Jakarta. Dan Papalah yang mendampingiku dan menyambut tamu-tamu di Jakarta. Tugas yang sangat melelahkan dan perlu stamina dan juga istirahat yang cukup. Allah telah men-Desain semuanya, dari A sampai Z.
Begitupun mengapa aku tidak tidur di samping Pak Ridha. Aku sudah berniat untuk tidur di situ. Tapi Allah yang melarangku. Allah Menetapkan bahwa aku tidak boleh tidur di ruang tengah tapi harus tidur di kamar, supaya bisa istirahat dengan cukup. Allah Menetapkan begitu, justru karena Kasih Sayang-Nya kepadaku. Ketetapannya adalah yang Terbaik. Karena Kasih Sayang-Nya maka semuanya terjadi. Sadarlah Mala, sadar!
Aku harusnya sadar, Allah tidak pernah menzalimi hamba-Nya. Semua takdir-Nya adalah baik, walaupun rasa sedih yang kita rasakan. Karena terkadang kita tidak tahu kebaikan apa yang ada di balik kesedihan tersebut.
Takdir kita telah tertulis sejak 50.000 tahun sebelum langit dan bumi diciptakan. Termasuk hal-hal baik maupun hal buruk yang menimpa kita.
Apa hikmah dari semua ini? Tiada lain seperti yang difirmankan Allah, agar kita tidak terlalu sedih saat menjumpai masalah, dan tidak terlalu gembira saat menjumpai kesenangan dalam hidup.
Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab Lauhul Mahfuzh sebelum Kami Menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
Kami jelaskan yang demikian itu supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS Al-Hadid:22-23).
Allah Swt telah menulis takdir mahluk sebelum Dia mencipta langit-langit dan bumi dalam jarak 50 ribu tahun dan Asy-Nya berada di atas air. (HR Muslim)
So Mala, jangan pernah menyesali apa yang terjadi. Karena itu semua merupakan takdir-Nya, merupakan Ketetapan-Nya. Dan takdir-Nya adalah yang terbaik.