Kota Batu adalah Kota Wisata. Siapa pun yang datang ke sini, pasti nggak akan melewatkan kesempatan untuk berwisata di Batu. Begitu pun ketika kami datang ke sini. Memang tujuan utama kami ke sini adalah untuk berobat. Tapi dalam hati kecilku berangan-angan kepingin mengunjungi tempat-tempat wisata. Sayangnya situasi dan kondisi belum mengizinkan. Aku nggak bisa meninggalkan suamiku. Harus gantian dengan Bang Zen. Sementara Bang Zen kalo pagi kerja, bertindak sebagai pengawas proyek (mandor kali ya). Bisa sih izin, tapi harus dijadwalkan dulu.
So, kalo aku mau pergi ke pasar bareng Bu Yatin, sehari sebelumnya bilang dulu ke Bang Zen, biar beliau bisa jagain suamiku. Begitu pun kalo mau ke mana-mana bareng Bu Yatin. Nah, tapi kalo jalan-jalan, Bang Zen kan yang nunjukin jalan sekaligus supir. Jadi beliau harus ikut, nggak mungkin tinggal. Posisi beliau penting banget dan tidak tergantikan. Yang ngurus mobil carteran juga beliau. Karena udah kenal, jadi nggak perlu surat-surat segala macam, udah dipercaya.
Hm, jadilah aku harus memasrahkan diri tinggal di rumah. Karena kondisi suamiku masih lemah. Sementara anak-anakku plesir ke Museum Transportasi (Museum Angkut), Jatim Park, Museum Satwa, pemandian air panas di Cangar, dan lain-lain. Dan aku hanya bisa menatap kepergian mereka dengan tatapan hampa (deu lebay nih si Mala). Seraya berharap, tenang Mala, suatu saat giliran kamu. Tunggu tanggal mainnya ya.
Akhirnya kesempatan itu datang jua. Suatu hari Mbak Emmy nelfon, mau ke sini tanggal 10 Juli 2016. Dan bawa mobil. “Mau ajak jalan-jalan Pak Ridha, biar Pak Ridha refreshing. Kasian di rumah terus,” alasan Mbak Emmy kenapa bawa mobil. Aku terharu banget. Kok ya sampe kepikiran ke situ. Soalnya jarang-jarang orang mau ngajakin kami. Ngeri lagi bawa orang sakit. Ntar kalau ada apa-apa jadi masalah.
So, begitu Mbak Emmy bilang mau ajak jalan-jalan Pak Ridha, aku pasti kebawa dong (girang).
Kedatangan Mbak Emmy yang kedua ini bawa rombongan, yang terdiri dari Mbak Emmy, Pak Waris, dua orang jagoan mereka: Syauki dan Silmi; serta tiga orang saudara Mbak Emmy dari Mataram: Bang Syarfan, istrinya Kak Sri, serta anaknya Afik.
Hari pertama, mereka jalan-jalan ke museum transportasi. Mobil full of capacity, jadi aku dan Pak Ridha nggak ikut. Hari kedua, mobil masih penuh. Mereka jalan-jalan ke Selecta. Siangnya Bang Syarfan, Kak Sri dan Afik pulang ke Mataram, naik pesawat dari Surabaya.
Hari ketiga barulah giliran kami. Bang Zen sebagai penasehat ikut sumbang saran. Sejak masih di Hotel EL Karang Ploso, Pak Ridha udah minta pingin berendam air panas. Tapi kan situasi dan kondisi belum memungkinkan. Nah, sekarang, bisakah permintaan itu diwujudkan? Awalnya kami udah bertekad mau ke Cangar, kepingin berangkat subuh-subuh, biar sepi. Eeh, tau-tau Bang Zen bilang gini,”Tapi kalau di Cangar itu ada anak tangga sekitar 50 biji, Pak Ridha harus digendong.” Walah, gawat. Waktu bulan puasa itu Pak Ridha kuat, bisa jalan-jalan ke kamar mandi dan ke halaman. Tapi habis lebaran kondisi beliau melemah. Mau jalan susah banget, harus ada tenaga dari kita untuk menopang beliau. Apalagi untuk menggendong, perlu ekstra kerja keras. Ya udah, Cangar batal.
Kita ganti strategi. Kalau bisa, Pak Ridha nggak usah turun ke lokasi. Cukup liat-liat pemandangan aja. Ya udah, boleh, jadi ke mana? Pilihan jatuh ke Coban Rondho, air terjun. Harapan kami, air terjun bisa dilihat dari tempat parkir. Ya, semoga.
Dengan mengucapkan basmalah, kami berangkat. Perlengkapan komplit, satu set baju ganti, handuk kecil, handuk besar, minum, camilan. “Kerupuk jangan lupa ya Bu!” Bang Zen mewanti-wanti. Soalnya lukanya Pak Ridha kan alhamdulillah udah banyak yang mengering, jadinya gatal. Beliau sering korek-korek lukanya yang gatal itu, dan berdarah. Nah, untuk mengalihkan perhatian, aku sering ngasih camilan, biar sibuk ngunyah, hehe. Nah, kerupuk adalah camilan yang paling disukai beliau.
Mbak Emmy nyetir, Pak Ridha jadi co-pilot. Duduk di depan biar bebas liat pemandangan. Keliatannya beliau menikmati. Udah lama banget terkurung di rumah soalnya. Aku aja pas ke pasar Batu yang depan terminal girang banget. Setelah 3 minggu, Bo’, baru nyari-nyari pasar. Gimana Pak Ridha, udah sebulan lebih.
Coban Rondho itu letaknya di Pujon, Kabupaten Malang. Sekitar 12 km dari Batu. Sampai di Malang sini aku baru tahu bahwa ada kota Malang, dan ada kabupaten Malang. Waduh, kalau nggak ke sini berarti aku nggak akan tahu bahwa sebetulnya ada kabupaten Malang, kirain cuma kota Malang aja. Kasian si Mala. Di Pujon itu ada peternakan sapi yang besar dan modern, sayangnya kami nggak sempat ke sana.
Masih di mobil, Pak Ridha udah dikasih camilan kerupuk. Tapi konsentrasinya jadi terpecah, antara liat pemandangan sama ngunyah camilan. Ya, gimana baiknya aja. Nggak berapa lama, beliau udah kecapekan, pingin tidur. Sebelum tidur, minum dulu. Tapi susah banget, apalagi terhalang sama seat belt. Sampai di situ aku baru mikir, harusnya Pak Ridha di tengah aja, di sampingku. Biar aku gampang ngurus Pak Ridha. Tapi ya udahlah, ribet kalau harus turun dan ganti posisi.
Di jalan kami melewati Songgoriti, tempat indah yang sering disebut-sebut sama Pak Haji Slamet. Melewati hutan cemara, tiba-tiba suasana berubah jadi romantis. Dari dulu aku selalu suka dengan conifer, alias cemara. Apalagi jenis Pinus mercussi, yang ujungnya halus lancip. Ada nuansa aneh yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Lebay lagi deh si Mala. Jalan berkelok-kelok, karena menyusuri lereng pegunungan. Suasananya mirip-mirip di Puncak, Bogor, Jawa Barat. Kalau di Aceh menyerupai Seulawah, Aceh Besar. Berada di tempat-tempat kayak gini memang kepinginnya berada bersama dengan orang yang dicintai.
Dan aku banyak-banyak bersyukur dalam hati karena suamiku bisa ikut, walau dengan kondisi yang tidak bisa dikatakan prima. Bagiku pribadi, bisa keluar jalan-jalan bersama Pak Ridha adalah “sesuatu banget”. Big thanks to Mbak Emmy dan Pak Waris
Masih melewati hutan cemara, tiba-tiba melihat kemah.
“Wah di sini bisa berkemah juga ya,” seru Mbak Emmy takjub. Keliatan di benaknya Mbak Emmy sudah tersusun 1001 rencana mau ngajakin sohib-sohibnya di Bandung buat berkemah di sini.
“Iya Mbak, murah meriah. Lumayan nggak usah sewa hotel, hihi…” gurauku.
Mobil terus berjalan. Kami masih meraba-raba di mana pintu masuknya. Bang Zen sang guide ternyata belum pernah ke Coban Rondho. Setengah tak percaya kami mendengar penuturan jujur papanya Hasan ini.
“Masak sih Bang Zen belum pernah ke Coban Rondho? Yang bener, Bang?” Mbak Emmy sangsi.
“Iya, tapi saya tahu jalannya kok Mbak Emmy,” sahut Bang Zen nggak mau kalah.
Di suatu tempat kami melihat view yang luar biasa bagusnya. Kepingin berhenti buat menyimak lebih seksama. Nggak enak kalau dinikmati sembari berjalan. Kurang khusyuk.
“Mi, Mi, berhenti dulu. Cari tempat yang agak luas!” perintah Pak Waris kepada istri tercintanya.
“Iya iya, sabar Bi,” jawab Mbak Emmy sang driver.
Pas ketemu tempat yang agak luas, mobil berhenti, minggir. Pak Waris menginstruksikan agar mobil berbalik arah.
“Mobilnya menghadap ke belakang aja Mi!”
“Wah susah, Bi, ini kan satu arah,” Mbak Emmy menolak.
Aku juga heran, ini belum sampe tujuan kok udah mau berbalik arah. Nah, cari tempat puterannya aja setengah mati. Ada-ada aja nih Pak Waris.
“Ya udah, terus aja Mi,” Pak Waris mengubah instruksinya.
Nah, kawasan Air Terjun Coban Rondo ini berada di daerah dataran tinggi, dengan ketinggi 1135 meter di atas permukaan laut, jadi hawanya lumayan dingin.
“Buka kaca aja ya, enak, dingin,” tawarku. Mbak Emmy langsung mematikan AC. “Ya, lumayan, hemat bensin, hehe,” imbuh Pak Waris.
“Bang Jen, Coban Rondho itu artinya apa sih?” tanya Mbak Emmy. Beliau memang agak susah menyebut huruf “Z”, dan biasa menggantinya dengan huruf “J”.
“Coban itu artinya air terjun, Rondho artinya janda,” jelas Bang Zen.
“Berarti air terjun janda dong. Gimana sejarahnya itu, Bang?” tanyaku penasaran. Aku memang suka dengan hal-hal yang berbau-bau sejarah.
“Jadi ceritanya ada janda dan duda ketemu di sini,” jelas Bang Zen.
“Ah, ngarang nih,” Mbak Emmy nggak percaya. Memang dari nada bicaranya kelihatan kalau orang ngibul. Dasar Bang Zen aja nggak mau kalah
Masih ngeliat-liat hutan cemara. Kawasan ini termasuk dalam kawasan KPH Perum Perhutani Malang Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Pujon. Berarti termasuk daerah yang dilindungi yah.
Akhirnya sampailah kami di area yang agak luas. Berbentuk bulatan. “Udah sampe ya?” tanya Mbak Emmy. “Belum Mi, ini mah hotel,” jawab Pak Waris. “Lho kok ada hotel, ini kan daerah yang dilindungi?” protes Mbak Emmy. “Ya hotelnya punya merekalah,” jawab Pak Waris. “Ya, asal jangan di daerah tangkapan air aja ngebangun hotelnya,” kataku sok tahu.
Mobil terus berjalan, dan sampailah kami ke parkiran Coban Rondho. Tukang parkir suaranya mirip penyiar radio, merdu, dan tinggi rendahnya diatur banget.
Kami bertanya ke tukang parkir,”Mas, air terjunnya jauh nggak?” “Kira-kira 150 meter, Mas, jalannya rata kok.” Oh, lumayan deket. Tau aja arah pertanyaan kami, ‘ada tangganya nggak?’ Lalu kami atur strategi. Pertama, Pak Waris dulu nemenin Pak Ridha. Bang Zen nganterin kami. Lalu Bang Zen balik lagi, nemenin Pak Ridha, gantian Pak Waris yang ke air terjun. Siip.
Aku dan Mbak Emmy sibuk foto-foto. Sedangkan Silmi nggak tahan, rendem-rendem kaki. Banyak juga orang yang ngerendem kaki, bahkan ada yang nyebur seluruh badan. Aku tergiur. Cobain dulu ah. Brr, dingin banget. Ah, nggak deh, takut kram.
“Ke situ Bu, situ!” Bang Zen nunjuk-nunjuk air terjun. Maksudnya biar lebih mendekat lagi, sampai ke bawah air terjunnya banget. Yaelah. Aku dan Mbak Emmy nurut. “Enak juga kena percikannya ya Mbak,” kata Mbak Emmy. “Iya, tapi dingin,” sahutku. Pengennya berlama-lama, tapi takut Pak Ridha kelamaan nunggu. Ya sudahlah, cukup sekian kayaknya. Sampai jumpa di edisi berikutnya.