Satu quote lagi yang sangat berarti dan berusaha kuingat-ingat: Jangan menginterogasi Allah, Allah tidak suka diinterogasi. Yang mengatakannya adalah seorang perawat dari Makassar, yang dikirimkan Allah kepadaku nun jauh di Batu, Jawa Timur.
Beliau menginap di rumah sewa kami di Batu. Siapa dan bagaimana ceritanya mungkin tidaklah penting. Yang jelas. Beliau prihatin dengan kondisi kami dan tergerak untuk menyiarkan dakwah kepadaku terutama.
Ingatanku melayang ke masa silam.
Setelah sekian tahun memimpikannya, akhirnya kesempatan itu datang. Malaysia. Ya, Malaysia, negara yang sudah penah kusambangi bersama keluarga di masa kecil dan remajaku. Namun ketika dewasa, belum berkesempatan untuk melancong ke sana lagi.
Sebenarnya pak Ridha sudah bolak-balik ke Negeri Jiran ini, namun aku tidak pernah diajak serta. Alasannya, nggak ada yang jaga anak-anak. Memang saat itu anak-anakku masih kecil-kecil.
Saat ini, anak-anakku sudah besar-besar. Dan lagi kedua orangtuaku sedang bertandang ke Aceh, sehingga bisa menjaga mereka. Jadi, nampaknya Allah memang sudah menetapkan takdir-Nya bahwa aku bisa ikut melancong ke Malaysia.
Nah, menurut informasi dari masyarakat Aceh yang sedang studi di Bangi, Malaysia, di Shah Alam ada pengobatan alternatif. Dia semacam operasi, tapi nggak dibius, nggak sakit, dan nggak berdarah. Terapisnya yang biasa dipanggil Datuk, juga merupakan dokter bedah. Lima belas menit setelah operasi langsung bisa aktifitas. Nah, sepertinya pengobatan ini cucok banget buat Pak Ridha yang tidak tahan sakit. Seharusnya tahun 2008, ketika kanker itu muncul kembali, harus cepat-cepat dioperasi. Tapi Pak Ridha menolak karena trauma akibat sakit pasca operasi tahun 2003. Susah payah aku membujuknya tapi tidak pernah berhasil. Pernah suatu waktu, dengan suara bergetar menahan tangis Pak Ridha berkata,”Mama sih nggak pernah operasi, jadi nggak tau sakitnya gimana.” Aku terhenyak dan sejak saat itu nggak pernah maksa-maksa Pak Ridha untuk operasi lagi.
Dan ketika mendengar adanya pengobatan yang “anti sakit” itu, harapan kesembuhan mulai berkobar. Dan alhamdulilah Pak Ridha mau, itu yang paling penting. Soalnya beliau kalau sudah bilang “tidak” ya “tidak”. Biarpun kita udah nangis guling-gulingan, nggak bakal berubah jadi “iya”. Jadi pas Ihsan bilang,”Pak Ridha udah setuju,” aku langsung bernafas lega. Ihsan adalah mahasiswa yang sedang S2 di Universiti Kebangsaan Malaysia atau UKM.
Namun harapan tinggal harapan. Pertama kali ke Malaysia September 2012, kedua November 2012 dan ketiga Juli 2013. September 2012, harapan melambung tinggi, November 2012 harapan terhempas, sakitnya bukan buatan. Datuk yang seyogianya mengoperasi, tiba-tiba berubah pikiran, tidak mau mengoperasi Pak Ridha.
Aku terhempas. Luka, kesal, sedih, semua berbaur menjadi satu. Dalam deru kereta api KTM Komuter, dari stasiun KL Sentral ke stasiun UKM, sambil bersandar ke bahu Pak Ridha, air mataku tak henti mengalir. Dan di saat itulah aku menggungat Allah, mempertanyak “kebijakan”-Nya. Ya Allah, kenapa Engkau berikan cobaan sebegini berat kepada orang sebaik Pak Ridha.
Engkau berikan suami hamba sakit, tapi kenapa Engkau tutup semua pintu kesembuhan. Astaghfirullohal ‘azhiim. Aku hanyalah manusia biasa, yang tak lepas dari khilaf dan dosa.
Syukurnya, support dari sahabat-sahabat dosen di Malaysia sangat membantu. Ada Pak Nurdin, Pak Syifaul Huzni, Pak Syarizal Fonna, Nurul Islami, Ilfan, Ihsan, Pak Sabri, Kak Farida, Kak Eva, Bang Nazar, Teteh Dwikanti, Pak Fachri, Pak Rizal, Bu Endang, juga Pak Arhami dan Sada Riah yang jauh-jauh datang dari Johor untuk ketemu kami. Mereka semua menghibur dan membesarkan hati kami.
Hatiku remuk redam, berontak, menggugat takdir-Nya. Tapi yang kuherankan, Pak Ridha tetap tenang, seolah-olah yang sakit itu bukan beliau. Sampai-sampai aku bertanya dalam hati, sebenarnya yang sakit itu aku atau Pak Ridha sih? Beliau –sesuai dengan namanya- sudah ridha atas takdir yang menimpanya. Selama ini sikap beliau yang tetap tenang itulah yang selalu membuatku juga tenang. Jangan panik Mala. Yang penting berusaha dan berdoa, semoga Allah membukakan pintu kesembuhan buat beliau. Aamiin.
November 2012, ketika pintu kesembuhan sudah terbuka lebar, saat hendak memasukinya, ternyata pintu itu tertutup kembali. Aku pulang dengan kekecewaan berkecamuk di hati. Masihkah ada, masihkah ada pintu lain yang bisa kami buka ya Allah? Tolong kami ya Allah.
Alhamdulillah Allah mendengar doa kami. Januari 2013, Pak Ridha bersedia menjalani kemoterapi, tepatnya kemo lokal. Cairan obat tidak dialirkan ke seluruh tubuh, tapi langsung pada pembuluh darah yang menuju ke jaringan kanker. Jadi efek kemo dapat diminimalisir. Sungguhpun begitu, efek kemo tetap ada. Rambut rontok, kulit keriput dan Hb turun. Namun Pak Ridha menjalaninya dengan tabah. Tak pernah mengeluh, berontak, apalagi sampai menginterogasi Allah. Alhamdulillah kemo kesatu, kedua dan ketiga berjalan lancar. Tiba-tiba pada kemo keempat, timbul pembengkakan di bagian leher. Terkejut dan bingung dengan efek yang tidak disangka-sangka. Setelah pihak keluarga bermufakat, akhirnya dicapai kesepakatan untuk tidak melanjutkan kemoterapi. Pintu tertutup kembali.
Beberapa kali pintu terbuka, tertutup, terbuka, tertutup, terbuka. Ya Allah, kenapa? Kenapa, ya Allah? Namun ucapan Nuryanti menyadarkanku. Jangan menginterogasi Allah, Allah tidak suka diinterogasi. Ampuni aku ya Allah.