Hmm, akhirnya sampe juga aku di Para Layang.
Parkir di bawah, bayar 5 ribu lalu jalan kaki ke atas. Sampe atas, waw, pemandangannya tak terkatakan indahnya. Jambo Luwuk yang biasanya ada di atas (ya agak-agak mendongaklah) sekarang ada di bawah. Begitupun memandang Songgoriti, biasa mendongak sekarang menunduk. So, kita berada di posisi puncak, semuanya ada di bawah.
Eitss, tapi jangan sombong dulu. Di atas langit masih ada langit. Sama Gunung Panderman kita masih kalah. Apalagi sama Allah, masih jauh banget yak (ya iyalah)
Di atas, udah rame orang. Baik yang mau terjun payung maupun penontonnya. Menurut analisis saya (ciee, ILK) yang nonton jauh lebih banyak daripada yang mau terjun. Macam orang mau naik haji aja. Yang nganter 3 mobil, padahal yang mau naik haji cuma 2 orang. Begitulah.
Sekarang sedang persiapan, nomor urut 38. Hah, kok baru dikit, ini mulainya jam berapa ta? Yang mau terjun anak kecil, umur sekitar 6 tahun. Ha? Kecil bingits. Aku sampe nggak berkedip menatap anak kecil itu. Tubuhnya terdiri dari susunan zat apa ya, kok bisa berani gitu. Detik-detik mau terbang, aku lebih kaget lagi, ternyata tuh anak perempuan! Masya Allah! Kalau diriku, naik flying foks aja kagak berani (apalagi buggy jumping yang dibuang itu, hiiii, ngeri).
Di belakang anak kecil itu ada orang dewasa, kupikir pamannya karena agak mudaan. Syukurlah, ada pelindungnya, takut tuh anak kenapa-kenapa. Kenapa aku yang jadi kuatir ya. Tenang, tenang Mala. Semua sudah ada yang ngatur. Tuhan tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya. Apalagi anak kecil, insya Allah selamet. Don’t worry. Keep calm, easy going, okay? Okay.
Pas dia lompat, ngeeeeng, melayang ditiup angin, aman terkendali. Alhamdulillah. Kayaknya enak juga ya. So far so good.
“Tuh anak ke mana ya, Mbak Mala, udah nyampe belum ya?” sekarang giliran Mbak Emmy yang kalut. Maksudnya kelapangan tempat pendaratan di bawah.
“Belum Mbak, itu,” aku menunjuk parasut warna oranye.
“Ya ampun, tuh anak nyangkut di pohon!” Mbak Emmy histeris.
“Bukan Mbak, itu kan masih jauh pohonnya. Dia masih di atas,” aku berusaha menyabarkan Mbak Emmy.
“Oh, saya pikir udah nyangkut,” Mbak Emmy bernafas lega.
Passenger kedua, gadis muda, agak endut. Melihat penampakannya, seperti kurang meyakinkan. Dari jauh aku melihat ada aura ketakutan dalam dirinya. Wuih, si Mala, seperti ahli hipnoterapi ajah. Terus, aku melihat setangkai tongsis di depannya. Ya ampun ngapain sih pake tongsis-tongsisan segala. Udah bisa sampai dengan utuh, damai sentosa sampai di bawah aja udah syukur, nggak perlulah gaya-gayaan (udah, udah Mala, nggak usah sewot).
Pas dia lompat, eh nyungsruk. Tuh kan, gue bilang juga ape. Tongsisnya itu lho, bikin orang nggak konsen aje!
“Aaaah!” penonton teriak. Masih untung belum sempet ngegelundung ke bawah. Kalau iya, berabe kan. Orang Indonesia emang untung terus!
“Itu gara-gara tongsisnya!” Aku menyuarakan isi hatiku yang selama ini terpendam,”dia jadi grogi.”
“Nggak perlulah pake-pake tongsis!” si Mala nih sirik tanda tak mampu apa ya, kenapa jadi sirik sama tongsis, karena nggak punya apa, hehe.
Eh pemuda di sampingku menimpali (dengan sabarnya), “Tongsisnya itu emang dipinjami dari sini, Bu.”
Oalah, jadi kepingin malu. “Ooh, gitu tho, kirain dia yang bawa, hehe.” jawabku. Yo weslah. Pemuda tadi tersenyum, si ibu ini kok heboh amat ya. Kalau nggak sanggup mendingan nggak usah nonton deh bu, gitu kali dia ngebatin.
Passenger ketiga, seorang pemuda. Kalau ini sih nggak usah diragukan lagi. Aku yakin, seyakin-yakinnya (haqqul yaqin), nih orang pasti mampu. Dari auranya keliatan percaya diri. Mungkin udah sering terbang (burung kali).
Pas dia lompat, lho melayangnya kok ke kanan atas. Biasanya ke kiri bawah.
Eh ada bapak-bapak nimpalin gini,”Wah enak itu, jadinya lama. Untung dia,” eeh si bapak, perhitungan banget yak. Jadi gini, kalau kita mau naik parasut, bayarnya Rp 350 rebu. Make parasut, lompat, melayang, terus sampe ke bawah. Kira-kira memakan waktu sekitar 10 menitan. Itu kalau arah anginnya mengarah ke bawah. Nah kali ini, arah anginnya mengarah ke kanan atas. Malah menjauh. Jadinya lama kan nyampenya. So, teorinya kita nggak boleh melawan arah angin. Maunya dia kemana, ya kita ikutin aja. Jadinya enak, nggak berat. Ya seperti itulah hidup seharusnya. Maunya Allah kemana, ya kita ikutin aja, monggo. Mau ke kanan ya kanaan. Mau ke kiri ya kirii. Istilahnya, jangan melawan kodrat. Kalau kodratnya udah begitu, ya ikutin aja. Insya Allah enteng. Lha si Mala, kenapa jadi khotbah begini. Maksudnya ngingetin diri sendiri hehe.
Lha kan aku sekalian belajar cara-cara mengendalikan parasut. Siapa tahu kodratku ditakdirkan naik parasut, aku udah paham cara-caranya. Gitu lho.
Passenger keempat, anak kecil lagi, perempuan. Jantungku udah lebih tenang, nggak deg-degan lagi kayak tadi. Dari tadi kulihat selalu ada pendamping di belakang. Aku menyadari sesuatu.
“Oh itu pelatihnya ya! Ya ampun, kalau didampingi pelatihnya sih saya berani!” aku berteriak seperti anak kecil baru dikasih permen.
Pemuda di sampingku nyeletuk,”Yo kalo ndak pake pelatih yo ndak berani, Bu.” Ealah. Pantesan.