Pagi ini, kita jalan-jalan bertiga, aku, Pak Ridha dan As’ad. As’ad -sang new comer- adalah sepupu suamiku yang baru datang dari Banda Aceh. Baru jalan, entah kenapa As’ad senyum-senyum sendirian. Bahagia, girang atau kenapa ‘Ad? Aku juga pengen ketawa ngeliat kostumnya. Pakai jaket (padahal hari panas) terus bagian kepalanya diselubungin ke kepala. Aduh, serasa musim dingin aja. Nggak liat apa matahari merekah dengan indahnya ‘Ad? Yah maklumlah baru dua hari di Batu jadi belum ngerti iklimnya gimana.
Oke kita lanjutkan perjalanan. Pak Ridha pake kursi roda. Sebetulnya beliau bisa jalan, cuma karena kebanyakan tidur, lututnya agak kaku. Lha, dasar akunya yang malas, kalau jalan kan lama. Biar cepat ya pake kursi roda aja. Maksudku tahap pertama biar pengenalan lapangan dulu. Tahap selanjutnya baru latihan. Semua kan perlu proses tho (bisa aja si Mala ngeles). Lanjuut.
Jalan di Desa mBeru ini sempit, cuma cukup untuk satu mobil. Makanya dikasih tanda perboden di muka lorong. Jadi ini jalan keluar. Jalan masuknya lewat Desa Banaran, tapi muternya lumayan jauh. Karena villa kami hanya berjarak 150 meter dari muka lorong Desa mBeru, jadi kami selalu masuk lewat jalan perboden ini. Kadang-kadang merasa bersalah juga sih, apalagi kalau beradu dengan mobil dari arah berlawanan. Tapi ya mau gimana lagi, wong deketnya dari sini. Nah, selain sempit, jalannya juga bolong-bolong. Jadi kami rada-rada nggak nyaman bepergian dengan kursi roda. Kalau ada mobil terpaksa minggir. Tapi minggir juga jalannya nggak rata, jadinya serba salah.
Pas ketemu kebun jambu klutuk, kan ada jalanan konblok, As’ad langsung nyambung,”Ke situ aja ya Kak, jalannya sepi.” Kayaknya dia stres juga karena kita sering papasan sama kendaraan lain. “Bolehlah,” jawabku pasrah. Sebenarnya aku ingin tetap berada di jalur utama, tapi berhubung jalanan agak rame, yo wes, ngikut wae sarannya si As’ad.
Kami berbelok ke kanan. “Itu pohon jambu klutuk, di bawahnya pohon mint, itu bahan untuk buat odol,” jelasku pada As’ad. “Di sini tumbuh liar ya?” ”Iya, jambunya ditanam, mint-nya yang tumbuh liar,” jelasku serasa penyuluh pertanian. “Di sini dulu pusatnya apel. Yang namanya apel Malang itu ya di Bumiaji sini. Tapi sejak tahun 1998 apel di sini ngambek, nggak mau berbuah lagi. Soalnya di sini udah panas. Apel sekarang tumbuhnya di Junggo, Cangar, tempat-tempat yang dingin.” As’ad mengangguk-angguk. “Sekarang di sini yang subur jeruk. Jeruknya manis-manis, seger,” kataku sambil menunjuk pohon jeruk yang tengah berbuah. Ngegemesin.
Lalu konblok berubah jadi jalan setapak. Wah, susah ya, nggak bisa dilewatin kursi roda.
“Ya udah kita balik aja,” perintahku As’ad manut. Padahal dia kayaknya masih mau menjelajah (udah kayak “Dora the Eksplorer” aja).
Pas sampe di ujung gang, mau ke jalan besar, di situ aku ngeliat ada suami istri naik sepeda motor, bawa anak balita di tengah. Tiba-tiba aku langsung sedih. Dengan kejamnya langsung menuduh, pasti itu istrinya nggak bersyukur. Suaminya sehat wal afiat, normal, nggak cacat. Astaghfirullah, Mala, nyebut Mala, nyebut. Yah, sebenernya aku merefleksi diri sendiri. Dulu, pernah suatu waktu dalam hidupku, aku nggak bersyukur. Padahal Pak Ridha sehat, baik, soleh, pinter, jujur, setia, bertanggung jawab. Tapi akunya malah sering marah-marah. Menuduhnya gila kerja, terlalu cinta sama pekerjaan, nggak perhatian sama keluarga. Akhirnya Allah marah karena aku nggak bersyukur. Pak Ridha dikasih sakit sebetulnya teguran buat aku. Supaya aku mikir.
Aku selalu menerima begitu saja apa yang kumiliki dalam hidup ini. Istilahnya, take for granted. Aku selalu berpikir bahwa aku dapat begitu saja memiliki berbagai hal itu setiap hari, suami yang baik, anak-anak yang cerdas dan sehat, kesehatan, ataupun pekerjaan. Seolah mereka ada begitu saja dan menjadi hakku. Padahal mereka ada karena karunia Tuhan, karena kemurahan Tuhan, akunya aja yang nggak ngerti.
Kucoba mengingat bunga sakura. Bunga yang penuh dengan filosofi. Melalui keindahan sakura, aku belajar menghargai hidup. Hidup ini –bagai helai sakura- indah, tapi singkat. Di singkatnya waktu itu, aku wajib mensyukuri setiap detik keindahan yang terjadi. Mekarnya sakura mengingatkanku bahwa aku harus selalu berterima kasih pada Tuhan atas segala hal yang diberikan-Nya. Atas keindahan hidup yang setiap detik dianugerahkan kepadaku, dan kepada keluargaku.
Big thanks’s God for a wonderful life.