Ada percik-percik kerinduan yang melembab di palung hati, ketika aku menyadari bahwa Pak Ridha begitu saja hilang dari hari-hariku. Entah kenapa malam ini, di ruang tamu rumah orangtuaku di Kemanggisan, aku begitu merindukan beliau. Teringat hari-hari indah bersama beliau selama dua bulan lebih, dua bulan yang sangat bermakna.
Batu. Tiba-tiba saja kota itu menghampiri hidup kami. Awalnya tentu saja heran, mengapa Allah memilih Batu sebagai tempat persinggahan terakhir, sebelum Pak Ridha menghadap Illahi Robbi. Hari demi hari berlalu, kucoba meresapi dan memaknai semuanya.
Kota wisata Batu yang indah dan sejuk, dalam sekejap telah mencuri hatiku. Aku cinta kota ini. Kesejukannya telah mengingatkanku akan Jepang, daerah yang selalu kurindukan. Begitu juga kebun sayur dan kebun bunganya, selalu menyegarkan mata dan menghiburku. Sejak aku tiba di kota ini, alhamdulillah inspirasi menulis mengalir dengan derasnya, sesuatu yang teramat sangat kusyukuri.
Begitupun bagi Pak Ridha. Sebelumnya, penyakit kanker yang menggerogotinya, membuat beliau selalu kepanasan. Di bulan-bulan terakhir hidupnya, -sewaktu di Banda Aceh- beliau selalu minta tidur di kamar yang ber-AC, kamarnya si kembar. Dan AC-nya nggak boleh dimatiin. Sehingga aku yang nggak tahan dingin harus menyingkir ke kamar lain.
Dan ketika ke Batu, yang berhawa sejuk, aku sangat bersyukur, berarti nggak perlu pasang AC. Dan view-nya itu, subhanallah, bagus banget. Panorama Gunung Panderman bagaikan backdrop yang bisa dinikmati langsung dari villa. Nggak usah jauh-jauh, sambil makan pagi, dari ruang tamu kita bisa menikmati panorama Panderman dan kota Batu yang disinari mentari pagi.
So, Pak Ridha menjalani hari-hari terakhirnya dengan bahagia. Sakit kepala sudah hilang, bisa tidur dengan pulas dan nyaman, serta makan dengan lahap. Sesuatu yang sangat-sangat kusyukuri. Dan sejak di kota ini pula, kami banyak menerima kunjungan. Dari sahabat-sahabat Pak Ridha maupun dari sahabat-sahabatku. FYI, Pak Ridha kuliah S1 di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), S2 dan S3 di Tokyo Institute of Technology atau Tokodai, dan Postdoc di Toyo University, Saitama, Jepang. Juga pernah menjabat sebagai ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Surabaya tahun 1990.
Melalui fotoku bersama Pak Ridha yang ku-upload di facebook beberapa waktu yang lalu, banyak orang tersentak. Banyak yang tidak mengetahui kalau Pak Ridha sakit keras, dan langsung berinisiatif untuk menjenguk beliau. Sahabat-sahabat beliau sewaktu kuliah di ITS, sahabat-sahabat dari HMI cabang Surabaya, dan juga sahabat-sahabat semasa kuliah di Tokodai. Tak hanya yang berdomisili di Surabaya dan sekitarnya, namun juga datang dari Bandung, Bali bahkan Aceh. Special thanks to Pak Waris, Mbak Emmy Mariana, Mbak Ella Rachma, Pak Dani, Pak Son Kuswadi, Pak Doddy, Pak Harry, Pak Joko, Mbak Rivana Harijani, Dani Prasetyawan, Annisa Hanako, Cak Qomar, Cak Fuad, Cak Ali Mas’udin, Cak Hariadi, Cak Machsus Fawzi, Mbak Dian Eka Ratnawati, Mas Dwi Soebagyo, Mbak Endri Kurniawati, Mbak Qurratu Aini, Farhana, Safira. Juga Pak Khairul Munadi dan Bang Husni Usman yang khusus datang dari Banda Aceh.
Begitupun sahabat-sahabatku. Ada Tanti Kristianti Retno Purwanti, Wenny Adrienne Mary Hattam, Rosari Nur Prajantii dan Agus Ratna. Makasih yaa atas kunjungannya.
Begitu banyak cinta untuk Pak Ridha. Di akhir hidupnya, beliau dikelilingi oleh sahabat-sahabat tercinta. Beliau selalu menangis terharu jika dikunjungi sahabat-sahabatnya. Jika beliau sedang tidur, ketika bangun aku memberi tahu siapa-siapa saja yang datang. Begitu juga kalau mereka membawa sesuatu. Misalnya,“Ini ada kue dan roti dari Mas Machsus Fawzi,” kataku. Pak Ridha langsung nangis. “Hebat ya dia.” Begitu pun kalau ada yang memberi tanda kasih.”Ini ada sumbangan sekian dari teman-teman HMI cabang Surabaya,” laporku. Mata beliau langsung berkaca-kaca.
Ketika rombongan Pak Waris datang, saat mereka masih di halaman, Pak Ridha sudah menangis. “Ayah terharu,” kata Pak Ridha Aceh. “Ayah” adalah panggilanku dan anak-anak untuk beliau. Pak Ridha juga memeluk Pak Khairul Munadi, untuk mengekspresikan rasa terimakasih beliau yang mendalam atas kedatangan Pak Munadi.
Di setiap akhir kunjungan, beliau selalu mengucapkan “Terimakasih” untuk mengapresiasikan kedatangan sahabat-sahabatnya. Akhlak beliau yang santun dan mulia, terimbas juga ketika beliau sakit. Jika aku menyuapi Pak Ridha, beliau selalu berusaha membagikan apa yang dimakannya, walaupun itu cuma sepotong kerupuk, dibagi dua agar aku juga bisa mencicipinya bersama-sama. Subhanallah.
Kita memang tak pernah tahu akan seperti apa perjalanan hidup ke depannya. Kita pernah punya banyak rencana dan angan-angan, namun seiring waktu yang berjalan, ternyata semua memang tidak seperti yang kita harapkan. Allah memang selalu punya cara tersendiri untuk semua kisah yang dituliskan-Nya. Namun buat Pak Ridha, Allah telah memilihkan jalan terindah. Beliau kembali ke haribaan-Nya di tengah kehangatan dan cinta kasih orang-orang yang mencintainya, dan juga dicintainya. Tak ada kata yang dapat kuucapkan selain rasa terimakasih yang mendalam.
Jazakumulloohu khairan katsiiraa buat semuanya yang mencintai Pak Ridha.