Rinai hujan menyambut kedatangan kami di Bandara Soetta. Sepertinya alam ikut berduka dan ingin meleburkan segala nestapa. Dari balik jendela mobil aku menatap rinai hujan yang menderas. Segalanya terjadi begitu cepat dan tiba-tiba. Setelah berobat selama dua bulan setengah di Malang, kondisi Pak Ridha mengalami banyak kemajuan. Sakit kepala yang kerap menderanya ketika di Banda Aceh sudah lenyap. Tidur beliau pun sangat pulas, berbeda 180 derajat dengan sebelumnya. Dan makan beliau sangat lahap, tidak ada pantangan apa pun, termasuk gorengan dan santan. Kondisi ini juga berbeda jauh dengan kondisi di Banda Aceh. Jika makan gorengan atau lemak, daerah pelipis seperti ditarik-tarik, sehingga beliau kesulitan untuk makan. Yang tidak menimbulkan sakit hanyalah jus buah saja. Pendek kata, kondisi terakhir Pak Ridha sangat sehat. Tidak seorang pun yang menyangka Pak Ridha akan mengucapkan selamat tinggal di saat-saat sehat begini.
Aku masih termangu menatap ke luar jendela. Kepergian yang sangat tiba-tiba. Tidak ada salam perpisahan, tidak ada pesan-pesan khusus, bahkan yang teramat kusesali, aku tidak sempat meminta maaf pada kekasih pujaanku itu. Aku merasa sudah banyak berbuat kesalahan, terkadang tidak sabaran menghadapi beliau yang “tidak seperti dulu lagi”. Bahkan di hari-hari terakhir aku kurang melayani beliau. Sejak kedatangan As’ad, sepupu Pak Ridha yang datang dari Banda Aceh, aku terlena. Menyuapi makanan untuk Pak Ridha sering kudelegasikan pada As’ad. Aku lebih sering mengetik atau pun melayani tamu-tamu daripada menemani Pak Ridha. Semoga beliau mau memaafkan diriku.
Dan Sabtu pagi, aku malah pergi terapi ke Nuga Best. Karena kurang tidur, aku merasa badanku tidak fresh. “Kayaknya enak nih kalau diterapi.” Tempat tidur yang ditempeli batu turmanium itu memiliki dua proyektor. Satu di pinggang dan satu di tengkuk. Jadi aku merasa sangat nyaman ketika proyektor itu “jalan-jalan” di tengkuk yang sering merasa pegal-pegal itu.
Aku menyesali diri. Seandainya tahu Minggu pagi Pak Ridha akan pergi, aku tidak akan kemana-mana. Aku akan duduk terus di samping Pak Ridha, memeluknya, memijitnya, dan mengerjakan apa pun yang dipintanya. Seandainya, seandainya… Aku tahu kita tidak boleh berandai-andai, karena itu pekerjaan setan. Namun penyesalan terus menderaku. Kenapa aku tidak berbuat maksimal, justru di saat-saat terakhir Pak Ridha. Ya Tuhan, bagaimana aku bisa memaafkan diriku sendiri.
Perutku keroncongan. Aku meminta roti pada Bu Yatin, kumakan sedikit, lalu kuberikan pada Papa. Papa menerima. Kutawarkan pada Bu Yatin, tapi beliau menolak dengan halus. Lalu minum dan berusaha memejamkan mata. Tapi pikiranku masih melayang-layang. Kita memang tak pernah tahu akan seperti apa perjalanan hidup ke depannya. Kita pernah begitu punya banyak rencana dan angan-angan, namun seiring waktu yang berjalan, ternyata semua memang tidak seperti yang kita harapkan.
Jakarta, kukembali ke kota ini. Syukurnya jalanan tidak macet. Sekitar 45 menit, sampailah kami ke rumah duka di Kemanggisan, kediaman orangtuaku.
Turun dari mobil, aku bergerak ogah-ogahan. Karena lama, Cek Syah langsung menyambangiku ke mobil. Kutumpahkan tangisku di pelukan Cek Syah. Teringat saat-saat kritis Pak Ridha di Banda Aceh, beliau yang menemani kami. Mengoleskan lidah buaya di kepala Pak Ridha sembari komat-kamit membacakan doa. Rasa dingin dari lidah buaya sangat menyegarkan bagi Pak Ridha dan membuatnya nyaman.
Aku tak menyangka kedatanganku sudah ditunggu oleh banyak orang. Kak Dewi Marzuki, Meutia, Sari sudah menunggu di teras rumah. Aku memeluk mereka lama, satu persatu. Memasuki ruang tamu, ada Kak Wardah, Nabila, Bang Mahdi, Pak Mustafa Abubakar, Makcik Liza. Kak Jah istri ustadz Faisal, Armia, Yus istri Armia, Cek Mai, Cek Ramzi, Mutia Syahbuddin, Arifin, Pak Dirhamsyah, Pak Safuadi dan teman-temanku dari SMP 111 dan SMA 78. Ada Kristianti, Dinda, Maya, Wibowati, Devi, Prasti, Suci, Tituk, Andi, Budi Black, Oden, Sulfi. Kupeluk mereka satu-persatu. Surprise, tidak menyangka sambutan akan seramai ini.
Selanjutnya sambutan-sambutan. Pertama dari Papa, beliau mengatakan bahwa Pak Ridha meninggal dunia di Malang tadi pagi. Jenazah sudah dimandikan, dikafani dan disholatkan, sekarang sedang dalam perjalanan menuju Jakarta dengan ambulans. Dan insya Allah akan dimakamkan di Bekasi besok pagi. Papa juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu.
Sambutan kedua dari Pak Mustafa Abubakar, Paman dari Pak Ridha. Beliau mengatakan bahwa Ananda Muhammad Ridha adalah sosok seorang dosen yang perlu diteladani. Beliau pekerja keras dan berdedikasi terhadap pekerjaannya. Sewaktu kuliah beliau juga seorang aktivis di HMI. Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa almarhum sudah sakit lama dan dirawat dengan baik oleh ananda Mala, istrinya. Dan mewakili pihak keluarga, beliau mengucapkan terimakasih kepadaku karena sudah merawat dengan telaten. Air mataku keluar dengan deras mendengar penuturan beliau. Aku berdoa semoga ini tidak menjadi riya dan semoga ini dicatat sebagai amal baik oleh Allah Ta’ala.
Sambutan ketiga dari Pak Dirhamsyah. Beliau kawan seperjuangan suamiku di Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), khususnya jurusan Teknik Mesin. Bersama Pak Dirhamsyah dan beberapa orang teman, Pak Ridha mendirikan Tsunami Disaster Mitigation Research Centre (TDMRC). Dengan darah dan air mata, bahu-membahu ikut membangun dan membesarkan TDMRC. Juga mendirikan Pasca Sarjana di bidang kebencanaan yaitu Manajemen Ilmu Kebencanaan (MIK) yang dalam waktu singkat memiliki banyak peminat. Saat ini beliau menjabat sebagai dekan di Universitas Islam Negeri Ar Raniry Banda Aceh, di Fakultas Teknologi dan Sains. Pak Dirham mengatakan bahwa Pak Ridha adalah sosok yang penuh semangat. Di tengah sakitnya, beliau tetap beraktifitas, mengajar dan membimbing mahasiswa. Karena saking semangatnya, beliau seperti lupa akan sakitnya. Malahan keaktifan beliau melebihi orang yang sehat. Dan Pak Ridha selalu memotivasi orang lain.
Sambutan keempat dari Pak Safuadi. Beliau bekerja di Kementrian Keuangan, dan menjabat sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko. Beliau merupakan mahasiswa bimbingan Pak Ridha sejak S1,S2 dan S3. S1 di Laboratorium Korosi di Jurusan Teknik Mesin Unsyiah, S2 dan S3 di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Pak Safuadi mengatakan bahwa Pak Ridha adalah dosen idolanya, beliau bersedia mencurahkan waktu berjam-jam untuk mahasiswa, baik untuk diskusi maupun mengobrol tentang berbagai aspek kehidupan. Sambil menangis, Pak Safuadi mengatakan bahwa Pak Ridha adalah sosok yang sangat baik dan levelnya setingkat di bawah malaikat. Pak Ridha tidak hanya seorang dosen, tapi juga sahabat dan juga ayah bagi para mahasiswanya.
Sambutan kelima dari Bang Mahdi Syahbuddin, abang kandung Pak Ridha. Beliau mengatakan Pak Ridha pernah dioperasi di Jepang pada tahun 2003, dan Bang Mahdi ikut mendampingi selama Pak Ridha dioperasi. Pada kesempatan itu beliau bertemu dengan Prof Aoki atau Aoki Sensei, dosen pembimbing suamiku di Tokyo Institute of Technology. Prof Aoki heran karena setelah divonis kanker, pak Ridha tetap beraktifitas seperti biasa, tidak merasa shock ataupun stres. “Kalau saya yang divonis kanker, saya nggak bisa makan dan nggak bisa tidur, sibuk memikirkan penyakit saya. Tapi kamu kok bisa tenang begitu, seperti tidak terjadi apa-apa. Apa karena kamu punya agama ya?” tanya Prof Aoki pada Pak Ridha.
FYI, tahun 2013 Pak Ridha pernah menjalani kemo lokal di Rumah Sakit Kelapa Gading. Dan setahun terakhir, mengonsumsi obat-obatan herbal seperti habbatussauda yang berfungsi meningkatkan stamina dan imunitas Pak Ridha.
Setelah sambutan dari Bang Mahdi, Papa menawarkan padaku apakah ingin memberikan sambutan. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan yang baik ini. Kukatakan bahwa ini merupakan cobaan yang sangat berat bagiku. “Tanpa dukungan sanak saudara dan sahabat-sahabat semua, mungkin saya sudah ambruk. Saya mengucapkan terima kasih kepada semuanya yang sudah mensupport saya dan Pak Ridha selama ini. Jazakumullohu khairan katsiira,” pungkasku.
Demikian catatan kecil mengenai kedatanganku ke Jakarta. Terharu dan bahagia dengan kehadiran dan doa dari ahli famili dan sahabat-sahabatku. Insya Allah semuanya menjadi pelipur lara bagiku dan keluarga.