Tokyo Tower merupakan obyek wisata yang ‘wajib’ dikunjungi jika Anda berkunjung ke Tokyo. Karena menara yang mirip dengan Menara Eiffel ini merupakan simbol kebangkitan ekonomi Jepang, selain sebagai simbol kota Tokyo tentunya. Jadi biasanya turis-turis menjadikan Tokyo Tower ini sebagai tujuan utama wisata mereka. Namun agak berbeda dengan diriku. Aku baru menjejakkan kaki ke sini setelah kurang lebih tiga tahun berada di Jepang. Anak pertama kami, Faisal, sudah berusia dua tahun waktu itu. But, better late than never. Terkadang kesempatan memang tidak datang begitu saja, tapi harus dikejar.
Dari kejauhan, Tokyo Tower nampak tinggi menjulang, tampil mencolok dibandingkan bangunan-bangunan lain di sekelilingnya. Tiang-tiang bajanya berwarna oranye cerah berpadu dengan putih, nampak kokoh dan elegan. Menara ini terletak di tengah kota, dan bisa dicapai dari banyak stasiun, antara lain:
- Stasiun Onarimon di jalur Metropolitan Subway Mita;
- Stasiun Akabanebashi di jalur Oedo Subway;
- Stasiun Hamamatsucho di JR Yamanote atau JR Keihin-Tohoku;
- Stasiun Daimon di jalur Metropolitan Subway Asakusa;
- Stasiun Kamiyacho di jalur Tokyo Metro Hibiya;
Di situs web resminya http://www.tokyotower.co.jp/english juga dilengkapi dengan peta. Jadi tinggal pilih jalur yang sesuai dengan tempat tinggal.
Memasuki gedung, di ticket office, kami membeli tiket untuk dua orang, aku dan suami. Tiketnya agak mahal. Harga tiket masuk ke Main Observatory untuk dewasa sebesar 820 Yen, untuk anak-anak SD dan SMP sebesar 460 Yen, dan untuk anak-anak di atas empat tahun sebesar 310 Yen. Ini harga sewaktu kami berkunjung ke sini ya. Faisal enggak perlu membeli tiket karena umurnya masih di bawah empat tahun. Kami juga mendapat booklet yang berisi informasi seputar Tokyo Tower. Petugas tiket memberikan cenderamata berupa bolpoint berbentuk maskot menara, salah satu dari si kembar Noppon kepada Faisal. Wah, Faisal enggak beli tiket tapi kok dapat hadiah sih, hehe.
Setelah itu, kami naik lift langsung menuju ke Main Observatory. Wajah Faisal berbinar-binar. Dia memang paling senang naik lift. Sampai di atas, wow, pemandangannya keren sekali. Dari ketinggian 150 meter kita dapat melihat pemandangan Perfektur Kanagawa (Kawasaki, Yokohama), Saitama dan Chiba. Kawasan sekitar Tokyo ini disebut juga dengan Kanto. Uniknya, kita bisa melihat dari segala arah mata angin atau 360 derajat. Syukurnya, cuaca cerah, jadi kami dapat memantau semua sisi kota dengan jelas.
Dilihat dari atas kota, aku bisa menyimpulkan bahwa Tokyo merupakan kota metropolitan yang sangat padat. Gedung-gedung pencakar langit, perkantoran dan apartemen, berhimpitan seperti berebut tempat. Pemandangan yang umum ditemui di kota-kota besar dunia. Selain gedung-gedung, nampak jalan raya dengan mobil-mobil yang berseliweran, seperti mainan saja layaknya. Dari sebelah tenggara, nampak bagaimana birunya Teluk Tokyo atau Tokyo Bay. Sangat indah. Andai memiliki sayap, ingin rasanya langsung terbang ke sana. Di dekatnya ada Museum of Maritim Science di Odaiba yang bentuknya seperti kapal laut. Juga Rainbow Bridge, jembatan gantung yang mirip dengan jembatan San Fransisco. Akuterbuai dengan segala keindahan itu.
Sedang asyik-asyiknya menikmati pemandangan, ada hal yang membuatku tercengang. Di tengah padatnya bangunan yang mendominasi kota, dan pastinya harga tanah di sini juga melambung tinggi, terselip kawasan hijau berupa rimbunnya pepohonan. Dari booklet yang dibagikan saat membeli tiket, aku mendapat informasi bahwa kawasan itu adalah sebuah taman. Ada Hama Rikyu Garden dan Shiba Park di sebelah timur, juga ada Shinjuku Gyoen Park di sebelah barat. Sedangkan di sebelah utara, Imperial Palace dan Hibiya Park terhampar bagaikan karpet hijau. Sungguh menyejukkan mata.
Sebagaimana kita ketahui, kawasan hijau ini berfungsi untuk mengurangi polusi udara dan sebagai daerah resapan air. Jadi bisa mencegah banjir. Kebijakan pemerintah untuk tetap mempertahankan keberadaan taman-taman ini di tengah perebutan lahan yang sengit, patut diacungi jempol.
Secara garis besar, pemandangan yang dapat dilihat dari Main Observatory adalah sebagai berikut:
Sebelah timur
- Ginza area
- Seiroka Tower
- Hama Rikyu Garden
- Tokyo Disneyland
- World Trade Center Bldg.
- Tokyo Gas Bldg.
- Toshiba Bldg.
- Shiba Park
- Rainbow Bridge
Sebelah selatan
- Museum of Maritim Science
- Express Highway
- Tokyo International (Haneda) Airport
- NEC Bldg.
- Mita Kokusai Bldg.
- Shinagawa Area
- Yokohama Area
Sebelah barat
- Mt. Fuji
- Shibuya Area
- NHK
- Embassy of Russia
- Aoyama Cemetery
- Meiji Shrine
- Roppongi Area
- Shinjuku Area
- Shinjuku Gyoen Garden
- Reiyukai Bldg.
- Akasaka Detached Palace
Sebelah utara
- Ark Hills
- Hotel New Otani
- Sunshine Bldg.
- Akasaka Prince Hotel
- Hotel Okura
- National Diet Bldg.
- Tokyo Dome
- Imperial Palace
- Ueno dan Asakusa Area
- Hibiya Park
- NHK Broadcasting Museum
Selama ini kupikir Tokyo Tower fungsinya hanyalah sebagai objek wisata, ternyata aku salah. Fungsi utamanya adalah sebagai menara antena pemancar TV analog (UHF/VHF), TV lokal digital, dan radio FM. Selain itu, perusahaan KA East Japan Railway juga menggunakan menara ini untuk meletakkan antena radio sistem darurat kereta api, dan sejumlah instrumen pengukuran dipasang oleh Kantor Lingkungan Hidup Metropolitan Tokyo. Subhanallah! Lagi-lagi bibir ini berdecak kagum. Antena pemancar dimanfaatkan sebagai objek wisata. Memang hebat pemerintah Jepang. Sekali mendayung, dua bahkan tiga pulau terlampaui. Sangat efisien dan efektif.
Dan siapa sih pencetus ide cemerlang ini? Orang yang berjasa itu adalah pengusaha surat kabar dari Osaka bernama Hisakichi Maeda (kelak menjadi direktur utama Sankei Shimbun, Kansai Telecasting Corporation, dan Osaka Broadcasting Corporation). Hisakichi melihat kebutuhan mendirikan menara pemancar bersama untuk sejumlah stasiun TV di Tokyo.
Pemancar yang diletakkan di Tokyo Tower bisa menjangkau wilayah Kanto hingga radius 100 km. Sebelum menara ini didirikan, sejumlah stasiun TV di Tokyo, NHK General TV, Nippon Television (NTV), dan TBS sudah beroperasi dengan antena pemancar sendiri yang tingginya mencapai 170 m. Pada tahun 1958, Fuji TV, NET (sekarang TV Asahi), dan saluran pendidikan NHK mulai memindahkan antena pemancar ke Menara Tokyo.
Menara ini dibuka untuk umum pada Desember 1958. Desainnya mengikuti Menara Eiffel di Paris, Perancis. Tingginya 333 m, lebih tinggi 13 m dari Menara Eiffel, namun beratnya hanya 4.200 ton dibandingkan Menara Eiffel yang beratnya 7.300 ton. Bagian atas menara dirancang untuk tahan terhadap hembusan angin kencang hingga kecepatan angin 100 m per detik, sedangkan bagian bawah menara tahan terhadap angin berkecepatan 80 m per detik.
Fasilitas apa saja yang ada di Main Observatory ini? Di sini ada kafe, toko cenderamata dan juga look-down window. Melalui look-down window, kita bisa melihat ke bawah melalui jendela yang tembus pandang. Dan di malam hari pada hari-hari tertentu, ada pertunjukan konser musik dari Club 333. Pada Rabu dan Kamis malam, mulai jam 19.00 sampai jam 21.00 (dua kali pertunjukan), pengunjung akan dihibur oleh lantunan musik jazz, R&B, dan bossanova. Sungguh suatu kolaborasi yang cantik antara Tokyo’s night scene dengan musik. Romantis sekali. Dan pada Jumat malam, ada DJ juga lho, jadi pengunjung bisa me-request lagu-lagu favoritnya.
Nah, bagi yang belum puas melihat pemandangan dari ketinggian 150 m, bisa naik lagi sampai ketinggian 250 m. Namanya Special Observatory. Tapi harus beli tiket lagi, untuk dewasa sebesar 600 Yen, untuk anak-anak SD dan SMP sebesar 400 Yen, dan untuk anak-anak di atas empat tahun sebesar 350 Yen. Beli tiketnya di Main Observatory lantai dua. Dari sini jangkauan pandang kita bisa lebih jauh lagi. Sejauh Gunung Fuji atau Gunung Tsukuba.
Ohya kalau ingin ke Menara Tokyo ini, kusarankan sebaiknya pergilah di sore hari. Karena pemandangan terindah adalah saat menjelang magrib. Saat mentari turun ke peraduan, di mana langit memerah jingga, alam terlihat begitu syahdu. Dan ketika malam membayang pun ‘view’nya tak kalah eksotis. Kemilau cahaya yang berasal dari kerlip lampu dari seluruh penjuru kota bertabur bagaikan kerlip bintang di angkasa. Sayangnya di sini tidak tersedia mushola, jadi perlu mencari tempat yang memungkinkan untuk sholat magrib.
Tokyo Tower sendiri pun, di malam hari terlihat begitu anggun bercahaya, dengan ratusan lampu yang menyinarinya. Warnanya yang oranye keemasan begitu kontras berpadu dengan gelapnya malam. Dan mengapa menara ini dicat dengan warna oranye, ternyata ada maksudnya lho. Hal itu berdasarkan peraturan keselamatan penerbangan. Jadi biar enggak ditabrak oleh pesawat yang lalu lalang.
Tokyo Tower atau Tokyo Tawa, demikian biasa orang Jepang menyebutnya, menawarkan aneka fasilitas. Di bawah menara masih ada bangunan berlantai empat yang bernama Foot Town.
Lantai B1 terdapat Security Center dan Medical Room.
Lantai 1F terdapat Information, ticket office, lift, toko cenderamata, akuarium, pertokoan
Lantai 2F terdapat toko cenderamata, restoran
Lantai 3F terdapat kafe dan Wax Museum (Museum Lilin). Museum ini buka dari jam 10.00 sampai jam 21.00. Tiket untuk dewasa sebesar 500 Yen dan untuk anak-anak sebesar 350 Yen.
Lantai 4F terdapat game corner
Roof (atap) terdapat aneka permainan anak-anak (amusement park)
Komplit sekali ya. Bisa dikatakan, Tokyo Tower ini merupakan “One Stop Shopping”. Di samping rekreasi, kita bisa santai di kafe, bisa cuci mata sekalian belanja, dan bisa mendengarkan konser musik. Anak-anak juga bisa melihat-lihat akuarium, main kereta api dan aneka permainan lainnya. Coba bayangkan, berapa banyak industri yang bisa hidup dari sini. Sebut saja industri makanan, industri cenderamata, industri mainan dan banyak lagi. Belum lagi lapangan pekerjaan yang tercipta bagi masyarakat. Jadi Tokyo Tower ini memberikan efek ganda (Multiplier Effect) yang besar bagi masyarakat, dunia industri dan pemerintah. Roda perekonomian pun berputar dengan lancar seiring derasnya perputaran uang.
Ini contoh yang baik bagi dunia pariwisata. Jika pariwisata dikelola dengan manajemen yang baik, dengan perencanaan yang matang dan cermat, melibatkan banyak pihak akan mendatangkan manfaat yang besar. Kuncinya: keseriusan. Jadi, tunggu apa lagi?