Jepang adalah negara Asia yang memiliki karakteristik hampir sama dengan Indonesia dalam hal saratnya terjadi bencana. Terletak pada zona mobil circum-Pacific dan memiliki kondisi geografi, topografi, dan meteorologi yang khas, membuat gempa bumi, hujan deras dan banjir, letusan gunung api, hujan salju berskala besar, hingga badai (typhoon) sangat sering terjadi di Jepang setiap tahunnya. Bedanya, negara ini memiliki kesiapsiagaan menghadapi bencana yang amat baik, yang perlu dicontoh oleh Indonesia.
Menurut Dr. Heru Susetyo LLM, staf pengajar Fakultas Hukum UI, Depok, sebelum tahun 1960, Jepang belum-lah memiliki kebijakan penanganan bencana yang terpadu (integrated disaster management). Titik baliknya terjadi sejak terjadi badai besar Ise-Wan pada tahun 1959 yang disebut sebagai the Epoch-Making Turning Point.
Sejak itu pendekatan penanggulangan bencana berubah dari response oriented approach kepada preventive approach. Kemudian dari pendekatan individual menjadi pendekatan multi-sektoral yang komprehensif. Juga, dibenamkan sejumlah besar investasi untuk program-program pengurangan resiko bencana (investment for disaster reduction).
Pada tahun 1960 sebenarnya Jepang sempat bangkit menyusun konsep penanggulangan bencana, namun beberapa tahun kemudian tertidur kembali. Dan baru setelah tahun 1995 ketika terjadi bencana gempa di Kobe mereka bangkit kembali.
Sejalan dengan hal itu, dikatakan oleh Presiden Sekolah Keperawatan International Palang Merah Kyushu, Jepang. Prof. Etsuko Kita, MD, PhD, “Masyarakat kami sudah sering kali dihantam gempa juga tsunami. Tapi belum juga mau `belajar` dan korban jiwa masih saja banyak. Hingga puncaknya yaitu bencana gempa besar datang di Kobe tahun 1995.”
“Sejak kejadian itu, kami semua berbenah diri dari segala sektor dan juga semua lapisan masyarakat Jepang untuk peduli dan mempunyai pengetahuan yang dalam tentang masalah gempa bumi dan tsunami ini. Termasuk bagaimana kami bisa hidup berdampingan dengan bencana ini. Urusan ini jelas bukan saja jadi urursan elit, tapi semuanya, juga anak-anak TK,” imbuh wanita gigih ini.
Gempa Kobe terjadi pada tanggal 17 Januari 1995. Gempa berkekuatan 7,2 skala richter ini meluluhlantakkan kota Kobe dalam waktu 20 detik. Gempa dahsyat dalam 47 tahun terakhir itu menewaskan hingga 6.433 jiwa, 34.600 orang terluka, dan lebih dari 250 ribu rumah rusak
Mengutip BBC, getaran gempa juga dirasakan sampai ke kota Osaka dan Kyoto. Total kerugian akibat gempa Kobe mencapai 100 milyar dollar. Lebih dari 50 ribu orang penduduk Kobe pindah ke kota lain paska terjadinya gempa. Semua infrastruktur penting dan tempat publik hancur.
Gempa Kobe bukan hanya pelajaran berharga yang mahal bagi Jepang, tapi juga menyadarkan Jepang, bahwa mereka harus siap menghadapi kemungkinan gempa besar lainnya, termasuk tsunami pada masa berikutnya.
Timbulnya solidaritas nasional yang muncul dari bawah yaitu masyarakat Jepang dan Kobe sendiri, justru mempercepat pemulihan Kobe. Kini secara berkesinambungan tiap komunitas masyarakat baik orang tua, pemuda, remaja, anak-anak sudah membentuk tim siaga bencana sendiri hingga tingkat RT-nya Jepang baik di tingkat desa maupun kota.
Gempa Kobe merupakan semacam turning point of disaster management di Jepang. Pada tahun ini terjadi fenomena munculnya gerakan-gerakan volunteer secara besar-besaran dan disaster management yang lebih baik.
Heru Susetyo menambahkan bahwa disaster education dilakukan makin intensif di Jepang. Seperti disaster education yang dilakukan instansi, atau kantor-kantor swasta, yang dilakukan beberapa kali dalam setahun. Mereka melakukan latihan evakuasi dan penyelamatan diri dan lain-lain. Bahkan ada disaster drill yang diselenggarakan secara nasional setiap tanggal 1 September.
Sosialisasi tentang pengenalan gempa-tsunami dan bagaimana menghadapinya dilakukan tidak sebatas orang dewasa di segalam lapisan tetapi juga anak-anak TK dan Balita.
Disaster education dijadikan kurikulum wajib di tiap sekolah (TK, SD,SMP,dan SMA). Kenyataan ini ditemukan oleh Sri Suprapti, SKP, salah seorang pengurus Himpunan Perawat Gawat danBencana Indonesia, ketika beberapa tahun lalu melakukan studi di Osaka, Jepang.
“Tanya kepada anak-anak TK di sana tentang apa itu gempa, apa itu tsunami, mereka tahu semua. Secara rutin mereka melakukan simulasi menghadapi gempa, sehingga kalau ditanya, apa yang kamu lakukan kalau gempa tsunami datang, mereka sudah tahu apa saja yang harus dilakukan”
Prof Etsuko juga menambahkan dalam proses panjang, semua kesiapsiagaanakan bencanajuga telah dibentuk di segala komunitas di setiap daerah Jepang. Sehingga penanganan bencana benar-benar dilakukan masyarakat lokal langsung. Kini, bagi warga Jepang, gempa dan tsunami bukan hal menakutkan lagi. Karena kini mereka bisa hidup berdampingan dengan segala bencana alam yang singgah ke Jepang. (*)
Tulisan ini pernah diikutsertakan dalam lomba “Surat dari Osaka”