Apakah arti salju bagi orang Jepang. Biasa saja, toh Jepang merupakan negeri dengan empat musim, sudah tentu setiap tahun pasti melihat salju saat musim dingin, bukan? Begitu pikiranku sebelum menginjakkan kaki ke Negeri Sakura. Ternyata pikiran tersebut tidak sepenuhnya benar. Benar bagi mereka yang berada di Jepang bagian utara seperti Hokkaido dan sekitarnya. Tapi tidak bagi warga Jepang bagian tengah dan selatan. Di Jepang bagian tengah, khususnya wilayah Kanto (Tokyo dan sekitarnya), salju hanya turun lima tahun sekali. Jadi kemunculannya menjadi hal yang ditunggu-tunggu oleh warga Kanto, termasuk kami.
Seperti siang itu. Aku dan Faisal baru saja selesai makan ketika kulihat butiran-butiran salju luruh menyembah bumi. Ha? Salju? Takjub. Terkesima. Terpana. Entah kosakata apalagi yang bisa mewakili perasaan ini. Langsung mendekat ke jendela, membukanya, dan termenung di sana. Indah, indah sekali. Subhanallah!
“Faisal, salju, Nak!” Aku memanggil Faisal yang sedang nonton televisi. Kuraih tangan Faisal dan kutadahkan ke arah salju agar dia bisa merasakan sensasinya.
“Iih, dingin, Ma!” teriaknya. Ya, ini adalah salju pertama dalam hidup anak sulungku, dan salju kedua bagiku. Salju pertama kualami Februari 1998, saat mengandung Faisal. Dan kini Faisal sudah berusia dua tahun. Tapi walaupun ini kali kedua, tapi sensasinya tetap saja sama. Girang. Ada euforia tersendiri ketika memandangnya. Tak lama, kudengar teriakan kegirangan dari apartemen sebelah.
“Tuh, orang Jepang aja girang, apalagi orang Indonesia,” aku tersenyum.
“Alhamdulillah, terimakasih karena Engkau telah memperkenankanku untuk melihatnya lagi,” gumamku penuh rasa syukur. Ingin rasanya aku keluar, jingkrak-jingkrak di luar sana. Tapi, suhu dingin menghalangi langkahku. Kalau ke luar kan harus berpakaian lengkap, pakai baju dalam, jaket, coat, sarung tangan, ah ribet, pikirku. Kalau cuma mau pegang salju, dari dalam sini juga bisa, kan.
Lalu aku menelefon Mbak Emmy Waris, sahabat muslimahku, mengabarkan berita gembira ini.
“Assalaamu’alaikum. Mbak, udah liat salju?” tanyaku tanpa basa-basi.
“Wa’alaikum salam. Udah, itu Fira dan Mira lagi main salju di luar,” jawab Mbak Emmy.
“Haa? Cepet banget?”
“Lha iya. Itu Dhia dan Ammar juga ada. Rame di sini, pada poto-potoan. Sebentar lagi saya juga mau ke bawah.” Dhia dan Ammar adalah anak-anak Mbak Ita dan Pak Totok, tetanggaMbak Emmy. Sebersit rasa iri menyelubungi sukmaku. Mbak Emmy tinggal di Miyazakidai, satu stasiun sebelum Miyamaedaira. Ada lima keluarga Indonesia yang tinggal di sana, jadi aku bisa membayangkan bagaimana hebohnya. Sedangkan aku, terdampar seorang diri di sini. Sedihnya.
“Faisal, yuk kita ke luar,” akhirnya aku menepis segala macam rasa dingin. Aku ingin Faisal punya kenangan indah tentang Jepang. Jadi kupakaikan pakaian musim dingin, selapis demi selapis, lalu turun ke bawah. Kami tinggal di lantai dua. Hati-hati, aku menuntun Faisal turun. Punya anak kecil memang ribet kalau tinggal di lantai dua.
Di luar, sensasinya memang beda. Lebih terasa. Lagi, dadaku serasa mengembang, penuh ketakjuban. Kurentangkan tanganku menghadap langit.
“Ya Allah, sungguh Engkau memang Maha Kuasa. Menciptakan salju yang luar biasa ini, bagi-Mu adalah pekerjaan mudah.” Tanpa terasa bulir bening merembes di pipi.
Faisal sangat senang berada di luar.
“Mama, saljunya banyak ya!” teriaknya.
“Ini masih sedikit, Nak. Nanti kalau udah banyak, Faisal bisa main boneka salju,” ujarku.
“Sekarang, enggak bisa?”
“Ya enggaklah, kan saljunya belum menumpuk.”
“Kapan menumpuknya?”
Hm, kapan ya. Saljunya tipis begini, berapa jam ya supaya menumpuk?
“Belum tau kapan, mungkin nanti malam.”
Waduh, aku sudah memberi harapan pada bocah kecil ini. Pasti dia akan menunggu sampai malam, dan berharap dia bisa main boneka salju. Jadi cepat-cepat kutambahkan,
“Tapi itu kalau enggak hujan ya Nak. Kalau hujan ya saljunya mencair lagi,” jelasku.
“Mudah-mudahan enggak hujan ya Ma, Faisal pingin main salju,” harapnya.
“Iya, semoga, Nak,” doaku mengaminkan pintanya.
***
Seperti pintaku dan agaknya, pinta ribuan warga Kanto lainnya, malam itu tidak turun hujan. Salju menumpuk di atas genting, di mobil, di pagar, di atas pohon. Indah. Bumi Miyamaedaira menjadi putih. Di mana-mana putih. Aku sudah siap mengajak Faisal main salju di luar ketika suamiku punya wacana lain.
“Tadi Pak Abdullah telefon, katanya di daerah Yokohama saljunya tebal. Dia ngajak kita main ke sana,” kata suamiku. Segera saja hatiku berbinar-binar.
“Ke Yokohama? Asyiik! Ke mananya?”
Kami tinggal di Kawasaki dan kalau berwisata biasanya ke arah Tokyo, jarang sekali ke arah Yokohama. Karena tiket kereta api terusan (tekiken) milik suamiku berlaku antara stasiun Miyamaedaira sampai ke Kampus Tokodai di stasiun Ookayama. Kalau pergi ke Tokyo, suamiku bisa menghemat beberapa ratus Yen kalau menggunakan tekiken. Tapi tekiken itu tidak berlaku ke arah Yokohama, karena berlawanan arah dengan Kampus Tokodai.
“Ke Kodomo no Kuni,” jawab suamiku.
“Kodomo no Kuni. Asyiik!” Hampir saja aku melompat saking girangnya. Aku belum pernah ke sana, dan ini kesempatan emas. Aku pernah mendengar dari Kak Badriah, sahabatku, bahwa di sana ada peternakan sapi. Pengunjung bisa memerah susu sapi dan melihat pembuatan es krim. Lalu bisa juga menikmati es krim dari susu sapi! Asyiik. Tapi dingin-dingin begini makan es krim? Enggak janjilah. Tapi enggak apa-apa deh, bisa melihat sapinya juga sudah lumayanlah, hehe.
Yup, singkat kata kami janjian dengan Pak Abdullah di stasiun Saginuma. Pak Abdullah datang bersama istrinya, Bu Dina, dan anak-anaknya, Kamil dan Iman. Dari Saginuma, kami melanjutkan ke stasiun Azamino lalu pindah jalur densha, dari Den en toshi ke Hanzomon. Pindah jalur inilah yang membuat ongkos transportasi menjadi mahal, dan akhirnya membuat kami jadi jarang ke Yokohama. Kalau begitu bersyukur dong ada salju, jadi ada kesempatan ke Yokohama, walaupun mahal, hehe.
Dari stasiun Azamino bertolak sampai ke stasiun Nagatsuta, turun lagi dan naik ke jalur khusus, berhenti di stasiun Kodomo no Kuni. Awalnya aku sempat heran, hebat sekali ya, Kodomo no Kuni punya jalur densha tersendiri. Ternyata konon kabarnya, daerah yang dijadikan lahan Kodomo no Kuni ini setelah Perang Dunia ke-2 merupakan lahan gudang amunisi milik tentara Amerika. Sehingga rel kereta untuk jalur Kodomo no Kuni dari stasiun Nagatsuta sampai stasiun Onda (melewati stasiun Kodomo no Kuni) aslinya adalah rel kereta yang digunakan untuk mengangkut amunisi dan sejenisnya pada masa itu. Ooh begitu ceritanya. Pantas saja jadi ada jalur khusus begini.
Dan akhirnya, sampailah kami di Kodomo no Kuni. Alhamdulillah. Enggak begitu jauh sih sebenarnya dari Miyamaedaira. Tapi ya itu tadi, ongkosnya mahal hihi. Keluar dari stasiun Kodomo no Kuni kami disambut deretan pohon-pohon besar sampai pintu gerbang. Di kiri kanan terlihat perumahan-perumahan dan banyak gedung apartemen, tampaknya tidak berbeda dengan kompleks perumahan biasa. Daerah barat taman memang dibuka sebagai area pemukiman, tetapi untuk memelihara hutan alamiah yang memang menjadi bagian dari taman, daerah di timur taman tidak digunakan sebagai tempat pemukiman dan tetap dipertahankan sebagai area hutan. Uniknya, stasiun Kodomo no Kuni ini merupakan salah satu stasiun tanpa petugas. Di sini memang ada beberapa stasiun tanpa petugas apabila stasiun itu kecil. Bila terjadi masalah, penumpang bisa berkomunikasi dengan petugas di stasiun terdekat menggunakan interphone yang ada di sana. Sampai pintu gerbang, pertama-tama beli karcis dulu. Untuk anak SMA sampai dewasa 600 Yen, SD dan SMP 200Yen, balita 100 Yen. Biaya standarlah, enggak terlalu mahal. Desain tiket masuknya berwarna warni disesuaikan dengan dunia anak |
Ternyata, Kodomo no Kuni ini dibangun sebagai peringatan pernikahan Kaisar Akihito dan Permaisuri Michiko, yang mana dananya dikumpulkan dari sumbangan berbagai pihak. Dibangun tahun 1959 dan diresmikan 5 Mai 1965, bertepatan dengan Hari Anak Nasional. Kodomo no Kuni kan artinya Negeri Anak-anak atau Dunia Anak-anak, jadi memang sengaja didedikasikan buat anak-anak tersayang, supaya mereka bisa belajar sambil bermain, bisa olahraga dan lompat-lompatan sepuasnya. Pendek kata, mereka bisa menghabiskan waktu seharian di sini, sampai puas, sampai capek. Di sini ada berbagai atraksi permainan, arena kemping, kebun binatang mini, peternakan mini, sungai kecil dan kolam renang anak-anak. Komplit kan.
Memasuki arena, tempat yang kami tuju adalah permainan atau atraksi. Istilah kerennya amusement park. Ketika mau beli tiket, ternyata karena salju, berbagai atraksi yang ada di situ enggak jalan semua. Yaah, kecewa, benar-benar kecewa. Salah sendiri, datangnya salah waktu sih. Coba datangnya pas musim panas, pasti atraksi ini jalan semua. Yo weslah, mau bagaimana lagi. Wong ke sini juga tujuannya mau cari salju, kan, bukan mau naik permainan. Berusaha menghibur diri walaupun pahit adanya.
Kami meneruskan perjalanan. Lalu ada roller coaster mini. Menariknya tiga atraksi yaitu heli cycle, roller coster dan sepeda berada di satu lahan. Bagian atas adalah rel heli cycle sekaligus roller coster dan di bawahnya dibuat sebagai area sepeda. Efisien dan menghemat tempat, bukan?
Tiba-tiba ketemu dengan wahana berisi mobil-mobilan. Dengan harap-harap cemas, bertanya ke petugas, ini mobil-mobilan jalan atau enggak. Ternyata jalan. Yokatta! Pak Abdullah segera membeli tiket untuk Kamil. Faisal kepingin juga. Tapi sepertinya mobil tersebut muat untuk dua orang.
“Faisal gabung ama Kamil aja, gak usah beli tiket,” kata Bu Dina. Hm, ide yang bagus, lumayan, hehe. Jadilah Kamil yang mengemudi, Faisal duduk manis di samping. Memandang Kamil dengan pandangan takjub, ”hebatnya nih orang,” begitu agaknya yang ada di pikiran Faisal saat itu. Melihat keceriaan anak-anak, hati yang tadinya kecewa agak terhibur sedikit.
Lalu kami berjalan lagi. Ada semacam permainan terbuat dari tali warna-warni. Kalau yang ini sepertinya enggak perlu tiket, nih, bisa langsung naik. Kamil, Iman dan Faisal pun naik ke atas tali dan berjalan –tepatnya merambat- di atas tali tersebut. Ya lumayanlah, walaupun sederhana yang penting anak-anak senang. Setelah itu kami juga menjumpai papan berbentuk kelinci, sapi, dan ular. Kami berfoto di situ. Padahal cuma papan yang digambar dan dicat warna-warni, tapi anak-anak senang sekali. Di depan papan berbentuk ular, Faisal menunjuk-nunjuk kepala ular sambil tertawa-tawa. Kenapa Nak? Ularnya lucu ya? Hm, hiburan yang murah meriah.
Setelah jauh berjalan, akhirnya kami menemukan hamparan salju yang lumayan luas. Kamil, Iman dan Faisal girang sekali. Mereka mencoba memegang salju dan heran bagaimana salju bisa mencair. Jangankan anak kecil, aku yang sudah dewasa saja heran dengan keajaiban ini. Subhanallah. Kok bisa ya air jadi beku, lalu jadi cair lagi. Maha Besar Allah.
“Wah di sini saljunya tebal,” seru suamiku. Aku menjejakkan kakiku ke dalam salju, dan…”BLESS!” kakikupun tenggelam dalam salju.
“Hahaha, iya, kaki Mala tenggelam!” aku berteriak girang. Lalu kami main lempar-lemparan salju.
Setelah bermain beberapa saat lamanya, kami pun melanjutkan perjalanan kembali. Ya, Kodomo no Kuni ini kan luas sekali, sampai mencapai 240 hektar. Jadi masih banyak spot-spot lain yang menunggu untuk kami sambangi. Sambil berjalan kami melewati papan-papan bergambar binatang lagi. Faisal tertawa girang melihat papan bergambar kelinci. Aku takjub, papan-papan seperti ini kan harganya murah dan membuatnya pun mudah. Tapi bisa membuat anak-anak senang luar biasa. Foto-foto sebentar dengan papan kelinci yang bolong di bagian wajahnya, lalu melanjutkan perjalanan lagi. Lumayan lelah juga, karena jalannya kadang menanjak, kadang menurun. Di satu lokasi ada tempat yang menanjak, seperti bukit kecil. Keren. Aku membayangkan bisa bisa meluncur dari atas sana memakai papan seluncur. Wah asyiik. Tapi sayangnya hanya khayalan belaka. Papan seluncurannya mau cari di mana? Lagipula ini kan bukan tempat khusus untuk main salju, bisa dimarahi sama petugas nanti. Faisal kepingin lari ke atas sana. Untung cepat kutangkap. Dia meronta-ronta enggak mau dipegang. Kewalahan juga jadinya. Cepat-cepat kupanggil my hubby, lalu beliaulah yang menyelesaikannya. Faisal aman dalam gendongan ayahnya.
Putih, di mana-mana putih. Suasana yang jarang sekali kurasakan. Bukan hanya aku seorang, tapi sepertinya semua anggota rombongan kami menikmatinya. Walaupun senang tapi ada kecewa juga sedikit, karena sebagian besar permainan enggak bisa dinaiki. Jadi kami berusaha mencari-cari, permainan apa yang available alias bisa dijalankan.
Setelah jauh berjalan akhirnya kami sampai di sebuah kebun binatang mini. Dengan harap-harap cemas kami memasuki tempat itu, takutnya tutup dan enggak bisa dimasuki. Alhamdulillah buka. Penuh sukacita aku mengamati hewan-hewan yang ada di sana. Enggak begitu banyak sih hewannya, cuma ada ayam, kelinci dan bebek. Tapi yah lumayanlah. Di Jepang kan jarang-jarang lihat ayam dan bebek, beda dengan di tanah air. Faisal begitu takjub melihat hewan berkaki dua ini. Sepertinya dia kepingin bercengkerama dan bermain dengan ayam-ayam itu. Sayang, waktu dan tempat membatasinya. Nanti ya Nak, kalau kita pulang ke Aceh, di sana bisa puas deh, kejar-kejaran dengan ayam.
Setelah itu kami berjalan dan melewati peternakan. Ada sapi, kambing dan domba. Terus terang, aku baru pertama kali melihat sapi yang warnanya hitam putih. Itu lho, sapi perah, yang ada di iklan-iklan susu. Uniknya, kita bisa memberi makan sapi-sapi ini lho. Faisal dan Iman mendekat ke salah satu anak sapi dan mencoba memberi makan hewan berkaki empat ini. Aku juga mendekat. Di kandang tersebut tertera data-data tentang anak sapi itu seperti tanggal lahir, jenis kelamin dan sebagainya. Betapa terperanjatnya diriku karena ulang tahun anak sapi itu hanya berjarak dua hari dengan diriku. Aku lahir tanggal 7 Januari sedangkan anak sapi lahir tanggal 9 Januari. Wah, dekat sekali ya. Kami sama-sama berbintang Capricornus! Kubelai sayang anak sapi yang ternyata betina itu. Tiba-tiba aku merasa mempunyai ikatan batin yang sangat erat dengannya. Ingin aku bersahabat dan mengasuhnya. Mau enggak ya dia jadi anak angkat kami? Duh kenapa jadi melankolis begini ya, hehe.
Di peternakan ini, sebenarnya kita bisa menyaksikan pemerahan susu sapi, proses pengolahan susu dan pembuatan es krim. Tapi itu semua ada di musim panas. Dan karena ini musim dingin, ya, jadi kami hanya bisa memendam rasa saja. Hanya bisa membayangkan, bagaimana lezatnya es krim dari susu. Hm, jadi ngiler nih.
Setelah ke peternakan, keliling lagi. Kali ini melewati terowongan dan rumah-rumah dari kayu. Wuih, suasananya serasa di Eropa. Romantiiss. Yah lumayanlah, walaupun belum pernah ke Eropa, tapi sudah bisa membayangkan suasananya.
Walaupun kaki sudah terasa pegal-pegal, tapi semangat masih tetap OK. Kami terus berjalan menyusuri hamparan salju putih di kanan-kiri. Dan tiba-tiba terpampanglah di hadapan kami: sebuah kereta api! Jadi teringat tempat rekreasi masa kecilku di Jakarta: Taman Ria Senayan. Kepingin juga merasakan nostalgia masa kecilku. Hm, kira-kira nih kereta jalan enggak ya. Soalnya kan sepi sekali. Cuma kami saja yang kepingin naik kereta. Rugilah, kalau enggak full capacity. Dan ternyata oh ternyata, kereta apinya jalan, Saudara-saudara. Petugasnya baik sekali, enggak takut rugi. Yah, nampak sekali kepuasan pelanggan sangat dijunjung tinggi. Amboi indahnya dunia. Semua anggota rombongan kami ikut naik kereta api. Lumayan bisa keliling-keliling Kodomo no Kuni. Faisal tampak khusyuk mengamati pemandangan. Heran, tuh anak ternyata bisa serius juga, hehe. Mungkin karena baru pertama kali naik kereta api yang model begini. Biasanya kan naik densha. Mungkin dia bingung, sama-sama kereta api tapi kok bentuknya beda ya. Atau dia bingung ini kereta api bagaimana caranya kok bisa jalan. Yah, whateverlah. Tapi aku geli menyaksikan tampang serius Faisal, seperti orang dewasa saja.
Setelah naik kereta api sampailah kami di penghujung perjalanan. Kami bersiap untuk pulang, membawa sejuta kenangan yang terus terpatri dalam lubuk hati.
Catatan kaki:
Densha: kereta api listrik
Yokatta: untunglah
Referensi: