Akhirnya Banda Aceh memiliki transportasi umum yang nyaman. Full AC, full music, pelayanan paripurna dan yang penting…gratis. Bus umum Trans Koetaradja alias TR. Pertama kali beroperasi bulan Januari 2017, namun aku baru berkesempatan naik untuk kali perdana pada Juni 2017. Itu pun atas desakan makcik tercinta, Cek Fairu. Beliau berdomisili di Geurugok, Bireun. Jadi gak bisa sering-sering naik TR khan. Katika beliau bertandang ke Banda Aceh, segera saja beliau mendaulatku untuk pesiar menggunakan moda transportasi ini. Walaupun sebenarnya agak enggan, karena besok aku akan bertolak ke Jakarta, dan urusan packing belum kelar. Tapi demi menyenangkan hati Makcik tercintah, yaah akhirnya terpaksa kukabulkan (padahal pengen juga sih sebenarnya, hehe).
Ngomong-ngomong, gimana cara Cek Fairu membujukku? Begini. “Nanti gak usah turun, Mala. Sampe halte langsung balik lagi. Cuma pengen ngerasain naik Trans aja. Oo, berarti gak lama kan. Soalnya kerjaan masih banyak ni, harus beberes rumah. Biasa kalau mau pergi jauh aku ngebersihin rumah, nyapu, ngepel, nyikat kamar mandi. Halah. Maksudnya biar pas pulang nanti gak perlu kerja keras ngebersihinnya. Segala sesuatu itu harus dicicil kan Brow?
Naik di halte Kedokteran Unsyiah, menunggu sekitar setengah jam. Lama bingits. Maklum, soalnya udah siang. Kalau pagi lumayan banyak armadanya, kan banyak anak sekolah, mahasiswa dan pegawai kantoran. Kalau siang begini biasanya ibu rumah tangga dan para manula (anggap aja kami manula lah ya).
Setelah setengah jam, begitu bis besar warna biru itu datang, girangnya luar biasa. Nunggu TR serasa nunggu suami pulang kerja. Bahagia. Langsung mengambil tempat di area belakang, biar lega. Karena pintu masuknya gak pas di tengah, tapi agak ke depan. Jadi area depan bangkunya lebih sedikit dari area belakang.
Pas duduk langsung menatap ke atas, memandangi AC, dan juga speaker. Berasa di pesawat. Kalau ada yang liat pasti mikir gini, “Nih ibu dari ndeso mana ya…” Maklum, jarang-jarang kan ada transportasi yang gratis, tapi fasilitasnya oke punya. Karena biasanya kenyamanan berbanding lurus dengan harga. Kalau mau nyaman ya harus merogoh kocek lebih dalam. “No Pain, No Gain”. Atau “No Free Lunch” alias “Tidak Ada Makan Siang yang Gratis”. Pengorbanan yang lebih akan membuahkan hasil maksimal. Kira-kira begitu analoginya. Lha ini, nyaman, tapi kok gratis? Duitnya dari mana? Ngutang di mana? Tapi gitu aja kok repot. Gak usah dipikirin keless. Mbok ya dinikmati aja.
Tak banyak penumpang di siang ini. Kami menaiki trayek “Darussalam-Keudah” dengan tujuan Masjid Raya Baitur Rahman. Begitu nyampe kami terkesima melihat payung-payung yang tersergam indah. Ini bahasa Melayu, artinya apa ya, terpampang kali ya, kira-kira gitulah. “Turun aja yuk Cek?” tawarku. “Gak usah Mala,” Cek Fairu menolak. Sesuai kesepakatan, Brow. Yo wess. Padahal maksud hati mau sholat sunat, dua rokaaat aja. Tapi ya sutralah, besok-besok insya Allah kan bisa. Kalau ada umur panjang.
Balik lagi ke Darussalam menaiki bis yang sama. Turun di halte Kedokteran Unsyiah lagi. Pas mau turun, aku menoleh ke jendela. Terpampanglah tulisan “Kawasan Wanita” untuk area depan dan “Kawasan Pria” untuk area belakang. “Ya ampun Cek, kita duduknya di tempat cowok!” aku berteriak. Gak enakan gitu. “Ya udahlah gakpapa,” jawab Cek Fairu dengan santainya. Mungkin di hatinya beliau bilang gini, “Emangnya gue pikirin? Yang penting udah nyampe. Masak mau diulang lagi?”