Ada yang aneh dengan TR. Di depan pintu masuk, di lantai tertulis “Dilarang Berdiri”. Larangan ini wajar, karena memang bahaya banget berdiri di dekat pintu. Salah-salah terdorong, bisa jatuh. Nah, tapi, di depan pintu itulah tempat berdiri para kenek. Aku ngerasa, ini peraturan kok diinjak-injak. Kalau memang para kenek ini pengecualian, ya tulis dong “Dilarang Berdiri Kecuali Kenek.” Beres kan?
Kali ini aku naik jurusan Darussalam-Keudah. Start dari Masjid Jamik Darussalam dan akan berakhir di Masjid Raya Baitur-Rahman (judulnya dari masjid ke masjid nih, hehe). Nah, pas naik dan melihat wajah kenek, aku ngerasa ada yang aneh, tapi nggak tau apa.
Duduk dengan takzim sambil melihat-lihat pemandangan. Waktu menunjukkan pukul 10 pagi, jadi relatif sepi. Di halte Fakultas Ekonomi, beberapa orang mahasiswa turun. Mereka mengucapkan terimakasih pada sang kenek. Dan dibalas dengan senyum lebar sambil agak membungkukkan badan. Melihat pemandangan ini, aku merasa melihat tuan rumah yang sedang melepas tamu-tamunya pulang. Kayak merasa berterimakasih banget gitu.
Lanjut. Di halte selanjutnya ada seorang ibu-ibu naik. Sang kenek nyengir kuda. Lha, kenapa mesti nyengir sih Pak? Mungkin udah saling kenal. Gaya komunikasi masing-masing orang kan beda-beda, Mala. Biasa aja keles. Tapi aku ngerasa aneh aja. Rasanya ada yang tak biasa. Duileh.
Lanjut lagi. Sebelum halte Lamgugop, supir berteriak,”Lamgugop, Lamgugop, ada yang turun?”
Lho, kok supir yang tereak, harusnya kan kenek?
Lalu sang kenek yang jawab,”Kosong…”
Lha, kebalik atuh.
Ngemeng-ngemeng, kenapa bus ini jalannya lambat ya? Biasanya di mana-mana bus TR ini selalu ngebut. Pas banget dengan kondisi diriku kala sedang terburu-buru. Nah, kali ini supir nyetirnya leleet banget. Untungnya aku sedang tidak terburu-buru. Jadi nggak masalah, Men.
Sampai di halte Simpang Mesra, bus berhenti. Supir bangun, lalu tukaran dengan kenek. Kenek duduk di bangku supir. Dan supir gantian jadi kenek. Walah? Wajah sang supir (alias kenek) puas banget, sambil ngomong dalam bahasa Aceh yang kira-kira artinya,”Bisa juga gue jadi supir!”
Yaelah. Terjawablah sudah kebingunganku dari tadi. Pantesan para mahasiswa dan ibu-ibu tadi menegur sang kenek dengan sopan. Mungkin mereka bergumam dalam hati,”Lha, Bapak kan supir, kenapa sekarang beralih profesi jadi kenek? Sejak kapan atuh, Pak?”
Aya-aya wae…