Hari itu Jumat terakhir kami berada di Tsurugashima, Saitama. Lusa, kami akan pulang ke Indonesia karena tugas suamiku -pak Ridha- sudah selesai. Sedianya hari itu kami akan berpamitan ke TK Musashi, tempat di mana anak sulungku –Faisal- bersekolah
Sebetulnya tahun ajaran akan berakhir bulan Maret. Tapi karena program Postdoc suamiku sudah berakhir, kami harus pulang pada bulan Januari ini. Berkali-kali Enchou Sensei (Kepala Sekolah) menyatakan penyesalannya karena kami harus pulang di tengah-tengah tahun ajaran. Beliau minta kami menunggu dua bulan lagi sampai tahun ajaran berakhir. Kami berusaha memberi pengertian bahwa sebenarnya kami masih ingin tinggal lebih lama lagi di Jepang. Tapi karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan, memaksa kami untuk pulang ke Indonesia. Walau berat, tampaknya beliau berusaha memahaminya. Dan syukurlah, Faisal tetap mendapatkan sertifikat tanda kelulusannya dari TK Musashi. Enchou Sensei sendiri yang memberikannya pada Faisal di hari terakhir itu.
Saat akan berpisah, kami bersalam-salaman. Saat berjabat tangan dengan Enchou Sensei, tiba-tiba aku ingin sekali memeluknya. Dan hal itu benar-benar kulakukan. Saat kupeluk, beliau membalas pelukanku. Dan tangisku pun pecah. Selama ini beliau sudah bersikap sangat baik terhadap kami, walaupun kami orang asing. Ketika tahu diriku sedang hamil, beliau mengucapkan,”Omedetou” yang berarti “Selamat”. Begitupun saat aku hamil besar, beliau mengusap-usap perutku seraya memberikan kata-kata pengharapan. Saat itu, kerongkonganku tercekat, seperti ada sesuatu yang tersangkut di sana. Ketika hamil besar itu, aku memang merindukan keluargaku di Indonesia, dan perhatiannya itu bagaikan setetes embun di padang sahara.
![](https://klikjaring.com/wp-content/uploads/2022/07/DSC03370-1024x768.jpg)
![](https://klikjaring.com/wp-content/uploads/2022/07/keadaan-kelas-2.jpg)
![](https://klikjaring.com/wp-content/uploads/2022/07/keadaan-kelas.jpg)
Aku cukup mengerti, perlakuan baiknya terhadap kami mungkin karena kami orang asing. Beliau tampaknya ingin memberi kesan yang baik terhadap kami. Hal ini sangat berbeda dengan pengalamanku sewaktu tinggal di Kawasaki dulu. Dulu, kerap aku merasakan pandangan yang melecehkan, baik dari orang Jepang, maupun dari bangsa lain. Aku tak tahu apa yang menyebabkan itu semua. Apakah karena wajah Asiaku, ataukah karena kerudung yang kupakai. Namun aku berusaha tidak perduli. Aku yakin bahwa agama yang diridhai Allah hanyalah Islam. Jadi kenapa harus kecil hati? Tapi di TK Musashi ini berbeda, karena kami orang asing, justru kami jadi pusat perhatian, baik dari guru-guru, murid-murid maupun orangtua murid.
Enchou Sensei selalu menegur jika beliau melihatku. Bahkan jika beliau berada jauh dariku. Ketika beliau tengah berbincang-bincang dengan para orangtua murid lainnya. Beliau akan memanggilku, memperkenalkanku dengan bangga kepada mereka. Suamiku pun ikut diperkenalkan, sebagai pengajar di Universitas Toyo. Hal ini membuatku merasa amat tersanjung. Beliau sepertinya bangga karena ada orang asing yang bersekolah di TK Musashi ini.
Kepada Faisal beliau juga sangat perhatian. Saat acara “Undokai” berkali-kali beliau berseru. “Faisaru-kun, gambattee!” untuk menyemangati Faisal.
Ketika pulang sekolah, beliau berbaur bersama guru-guru lain, memanggil anak-anak yang sudah dijemput oleh orangtua mereka. Termasuk juga Faisal. Walaupun orang asing, kami tidak pernah mendapatkan diskriminasi atau perlakuan buruk. Sebaliknya, perhatian dan penghargaanlah yang kami terima.
Ketika ada acara seni “Oyuugikai”, Faisal mendapat kehormatan untuk menyampaikan “sambutan penutup acara”. Aku dan suamiku merasa sangat tersanjung. Setelah selesai acara, beliau sempat-sempatnya memanggil kami, aku dan suami. Beliau berbincang-bincang, menanyakan kabar dan sebagainya. Lagi-lagi aku merasa sangat dimuliakan. Di antara puluhan bahkan ratusan manusia, beliau menyempatkan diri menegur dan berbicara dengan kami. Sementara di negeriku, ada saat-saat dimana aku merasa terabaikan. Bertemu teman yang dikenal tapi dia pura-pura tidak melihat. Lain waktu diabaikan karena baju yang kukenakan kurang bagus atau tidak memakai perhiasan apapun.
Tapi Enchou Sensei berbeda. Beliau tetap menegurku meski baju yang kukenakan jelek. Meski aku tidak berbedak dan bergincu. Meski aku tidak memakai perhiasan emas. Meski kami berbeda bangsa. Bahkan berbeda agama. Beliau menghargaiku sebagai sesama manusia. Manusia yang mempunyai persamaan derajat. Bahkan sesungguhnya, manusia itu sama di hadapan Allah. Hanya ketakwaanlah yang membedakannya. Padahal di negeriku, seringkali harta dan jabatan membuat seseorang merasa lebih tinggi dari yang lain. Dan membuat seseorang lebih dihormati daripada yang miskin dan papa.
Aku sangat terharu oleh perhatian yang diberikan oleh Enchou Sensei. Sikap beliau yang menghargai dan ingin memberi kesan baik kepada kami akan selalu terpatri dalam hatiku.
Catatan kaki:
Enchou Sensei: Kepala Sekolah
–kun: sapaan untuk anak laki-laki
Gambatte: berjuanglah
Oyuugikai: pentas seni