Ada suatu acara.di TK Musashi, TK-nya Faisal, anak sulungku yang waktu itu berusia lima tahun. Namanya Oyuugikai. Aku penasaran seperti apa sih acara itu. Kalau aku bertanya kepada Faisal, dia hanya mengangkat bahu sambil meneruskan permainannya. Hanya kadang-kadang kudengar ia menyanyikan lagu Mata Aeru Hi Made di sela-sela permainannya. Ooh, mungkin di acara Oyuugikai nanti ia akan menyanyikan lagu tersebut, pikirku.
Tidak berhasil dengan Faisal, giliran suamiku yang ketiban pertanyaan.
“Ayah, acara Oyuugikai itu seperti apa sih ?”
“Semacam acara pentas seni,” jawab suamiku pendek.
Ooh. Berarti akan ada tari-tarian dan nyanyian, pikirku.
Hari yang kunanti itu pun tibalah. Kami berangkat secara full team, yaitu aku, suamiku, keempat orang anak kami serta kedua orang tuaku yang kebetulan sedang ada di Jepang. Acara itu berlangsung di aula TK Musashi, Tsurugashima, Saitama, Jepang. Walaupun tidak terlalu besar, kira-kira tiga kali ruangan kelas biasa, ternyata aula itu mampu menampung para orang tua murid. Beberapa hari lalu aku membaca pengumuman bahwa acara Oyuugikai ini berlangsung selama dua hari. TK Musashi yang memiliki lima belas kelas itu dibagi menjadi dua kelompok. Kelas Himawari, kelasnya Faisal kebagian jadwal pada hari kedua.
Tidak seperti di Indonesia di mana penontonnya duduk di kursi, di sini para penonton disediakan tempat di lantai. Mereka membawa sendiri alas duduk dari rumah, ada yang membawa tikar, bantal duduk, bahkan ada yang membawa kasur kecil untuk anaknya yang masih balita. Wah, heboh banget nih persiapannya, seperti mau piknik saja. Tapi okelah, maksudnya mungkin biar nontonnya bisa lebih khusyuk dan nggak keganggu kaki yang dinginlah, pinggang yang pegallah, maklum dong, lantai itu kan dingin dan keras, hehehe…
Acara tepat dimulai tepat jam delapan pagi. Karena kami datang hanya beberapa menit sebelum jam delapan, maka hanya tersisa sedikit tempat di deret paling belakang. Terpaksa kami menyebar. Tapi meskipun kami di deretan paling belakang, untungnya kami bisa melihat ke panggung dengan jelas, tanpa terganggu oleh penonton lain yang hilir mudik, atau terganggu oleh fotografer kagetan. Maklum di negara maju, orang-orangnya saling pengertian dan tidak mau mengganggu orang lain. Jadi para penonton bisa menikmati acara tersebut dengan nyaman. Bagi orang tua yang ingin memotret anaknya pergantian tempat dilakukan pada saat hendak berganti acara. Memang daftar acara sudah dibagikan sehari sebelumnya sehingga orang tua murid mengetahui dengan pasti pada urutan ke berapa dan jam berapa anaknya akan tampil. Wah, wah, salut deh, persiapannya.
Acara demi acara berlangsung dengan tertib dan teratur. Acara terdiri dari tari-tarian, paduan suara, pementasan drama musikal dan konser musik. Untuk jenis tari-tarian, selain tarian tradisional, juga ada tarian kontemporer. Sedangkan paduan suara, seluruhnya dibawakan oleh murid-murid nen-cho, jika di Indonesia setingkat dengan TK B. Menurutku sebetulnya lagu-lagu tersebut juga dipersiapkan untuk wisuda pada bulan Maret nanti, karena temanya seperti perpisahan, bahagianya berkawan, dan lain sebagainya. Seperti lagu yang dibawakan oleh kelas Himawari berjudul Mata Aeru Hi Made atau Sampai Berjumpa Lagi. Dari judulnya saja sudah bisa ditebak kalau itu lagu tentang perpisahan. Mendengar lagu itu dinyanyikan dengan sangat syahdu, ada sesuatu yang terasa panas di mataku, dan segera saja bulir bening mengalir di pipi. Aku terharu karena selama Faisal bersekolah di TK Musashi, semua kawan-kawannya dan juga Mika Sensei sangat baik kepada Faisal, walaupun kami orang asing di sini. Aku pernah mendengar Mika Sensei mengatakan tentang Faisal kepada anak-anak Himawari
“Walaupun Faisaru-kun berasal dari negeri yang jauh, dia sama saja seperti kita. Lihat saja tasnya, bajunya, sepatunya, semuanya sama ‘kan.” Yang mana pada saat itu aku berusaha menghapus titik-titik air mata dengan diam-diam.
Untuk pementasan drama musikal, sebagian besar didominasi oleh dongeng-dongeng klasik, seperti karya H.C.Andersen, Grimm, dan lain-lain. Walaupun ada juga cerita-cerita lokal tentang nelayan, petani, hantu dan lain sebagainya. Terus terang aku baru pertama kali menonton drama yang dimainkan oleh anak-anak secara langsung. Selama ini hanya melalui layar kaca saja. Menurutku bermain peran ini sangat baik bagi anak-anak. Karena selain melatih anak untuk menghapal dialog, juga melatih anak untuk bekerja sama dalam tim. Sejujurnya, aku kagum dengan kefasihan anak-anak itu dalam menghafal dialog. Ini tentu tidak terlepas dari peran para ibu guru yang sudah melatih mereka selama berbulan-bulan. Hal mana telah membuka mataku, bahwa segala sesuatu yang direncanakan dengan matang dan dipersiapkan dengan baik tentu akan membuahkan hasil yang baik juga.
Satu-satunya yang sangat disayangkan adalah kemampuan bahasa Jepangku yang sangat minim. Sehingga aku kurang mengerti dialog-dialog yang diucapkan. Begitupun syair-syair dalam paduan suara. Namun aku cukup menikmati faktor-faktor pendukung seperti kostum para pemain yang lucu dan berwarna cerah. Selain itu aku juga menikmati setting panggung yang menarik. Seperti pada tarian Sakura, setting panggung terdiri dari pohon sakura dengan bunganya yang sedang berguguran. Sungguh syahdu.
Drama pertama yang dimainkan oleh anak-anak Himawari berjudul Aoi Tori (Burung Biru). Dongeng klasik ini berkisah tentang pencarian burung biru ke negeri Omoi De Ne Kuni. Satu persatu teman-teman anakku bermunculan di pentas. Ada Yuu Netsuke-kun, Nana-chan, Masahiro-kun, dan lain-lain. Lho anakku kok nggak muncul-muncul ya, jangan-jangan nggak ikutan main, pikirku. Ternyata anakku muncul di akhir acara. Bersama tiga orang kawannya, dia berperan sebagai zettaku, semacam pengembara yang membawa-bawa peti. Aku kurang mengerti apa fungsi zettaku di dalam cerita itu. Terus terang aku agak kecewa dengan perannya itu, karena dia tidak mengucapkan sepatah dialog pun. Dia hanya menari saja. Yah, namanya juga pemain figuran. Jadi perannya cuma selintas lalu saja. Aku berusaha menghibur diri, mungkin karena Faisal bahasa Jepangnya belum begitu lancar, takut kalau dikasih dialog yang panjang-panjang, takut nggak hapal.
Oya, selama acara berlangsung, tidak ada penonton yang ngobrol atau tertawa-tawa. Semuanya khusyuk menyimak acara demi acara dengan tertib. Aku agak heran dan membandingkan dengan keadaan di Indonesia. Kalau di tanah air, biasanya ibu-ibu bikin arisan sendiri, alias ngerumpi dan berisiknya minta ampun. Sehingga orang yang mau menonton jadi terganggu. Belum yang hilir mudik keluar masuk. Rahasianya ternyata kuketahui ketika aku ingin buang air kecil. Saat itu di luar ramai sekali. Banyak yang mengobrol dan tertawa-tawa. Ah, ternyata. Rupanya bagi mereka yang ingin mengobrol dipersilakan ke luar, jadi tidak mengganggu penonton yang sedang khusyuk menonton.
Drama kedua yang dimainkan oleh kelas Himawari berjudul Kobito no Kutsu-ya. Ini adalah kisah sepasang Kakek Nenek pembuat sepatu. Mereka memberikan sepatu yang sangat bagus kepada gadis miskin yang kedinginan. Di malam hari, para kurcaci datang membantu membuatkan sepatu karena kasihan kepada kedua orangtua itu. Keesokan harinya datanglah Raja dan Ratu ke kediaman mereka, membeli sepatu dan memberikan uang yang banyak kepada Kakek dan Nenek. Mereka pun berbahagia.
Kira-kira satu jam sebelum pementasan Kobito no Kutsu-ya, aku melihat ibu-ibu orang tua murid kelas Himawari, menyebarkan foto-foto. Aku penasaran. Ketika sampai pada giliranku, ternyata foto-foto itu adalah foto-foto anak-anak Himawari gumi dalam kostum drama. Mungkin beberapa hari sebelumnya telah diadakan gladi resik dan saat itulah foto-foto ini diambil. Nampak Faisal dalam kostum zettaku, berpose bertiga dengan temannya, Rio-kun dan Masahiro-kun yang sama-sama berperan sebagai zettaku. Juga ada Faisal dalam kostum…hei, nampaknya seperti seorang raja
“Bang, ini kok seperti pakaian raja ya,” bisikku pada suamiku.
“Iya, ini emang pakaian raja,” balas suamiku. Berarti dalam Kobito no Kutsu-ya anakku berperan sebagai raja? Entah kenapa tiba-tiba hatiku menjadi galau. Raja… anakku berperan sebagai raja! Anakku mendapat peran utama! Peran yang bergengsi. Peran yang mungkin diimpi-impikan oleh anak-anak lain. Tapi aku, aku, ibunya, tidak tahu apa-apa mengenai hal ini. Ada segurat sesal menggores dadaku. Kenapa aku tidak tahu menahu tentang peran-peran anakku. Padahal acara Oyuugikai ini telah dipersiapkan cukup lama. Sebegitu cuekkah aku tentang perkembangan sekolah anakku? Sebagai seorang ibu, seharusnya aku mengetahui segala perkembangannya di sekolah. Tapi ini…
Dan ketika kelas Himawari tampil dalam Kobito no Kutsuya, aku menontonnya dengan perasaan gamang. Seharusnya aku bangga dengan perannya itu. Namun buncah kebanggaan itu tertutup oleh rasa sedih karena perasaan telah mengabaikan anakku. Kesedihanku kukemukakan pada suamiku,”Duh, kita kok bisa nggak tau ya Bang…”
Suamiku mencoba menghibur,
”Yah, mungkin dia malu, takut ditertawakan.”
Sepanjang perjalanan pulang, aku melangkah dengan gontai. Untuk selanjutnya, hal seperti ini tidak boleh terjadi lagi. Aku harus memerhatikan anakku, sesibuk apapun aku.
Catatan kaki:
Oyuugikai: pentas seni
Himawari gumi: kelas Bunga Matahari
Mata Aeru Hi Made : sampai berjumpa lagi