Saat Subuh, 15 tahun yang lalu, kala sakura bermekaran, di rumah sakit Sagamihara (Jepang), lahirlah putri pertama kami. Selamat ulang tahun kak Fida..semoga panjang umur dan sehat selalu serta tercapai apa yang kamu cita-citakakan…Aamiin
Demikian isi status salah seorang temanku, mbak Ella yang pernah bermukim di Jepang. Hanya sayang, mengapa dia tidak menamai anaknya `SAKURA`, untuk mengabadikan saat-saat yang indah dan romantis itu. Tentu mbak Ella dan pak Nanto, suaminya punya pertimbangan lain.
Ada lagi temanku yang lain, mbak Rossi, yang menamai anaknya `YUKI`. Karena pas lahir, yuki atau salju sedang turun dengan derasnya di Kobe sana. So sweet.
Memang banyak teman-temanku yang menamai anaknya dengan nama Jepang. Ada Hikari, Keiko, Megumi, Minami. Maksudnya biar ada kenang-kenangan Jepangnya gitu loh
Aku jadi teringat peristiwa sebelas tahun silam. Saat aku mengandung Faisal, anak sulungku. Nama Faisal adalah pemberian dari suamiku. Sedangkan aku sendiri belumlah memberi kontribusi apapun dalam hal pemberian nama ini. Berdasarkan suggestion dari keluarga besarku di Jakarta, especially my two sisters, Meutia and Sari, pengennya pake nama Jepang. Dan aku pun mengikuti saran mereka. Akiko, itulah suggestion name dariku. Yang berarti anak yang lahir di musim gugur
Namun sedihnya, suggestion name itu ditolak mentah-mentah oleh suamiku, Mr. Ridha.
“Masak jadi Faisal Akiko sih? Kan gak matching!” sergahnya.
“Yah, anggep aja blasteran Arab-Jepang, gitu,” dalihku.
Tidak, sekali tidak tetap tidak. Jadi aku masih terus putar otak. Karena second name ini kan memang jatahku, biar adil
Alkisah sampai perutku membuncit dan hampir melahirkan, aku belum juga menemukan second name yang tepat. Dan pada tanggal 21 September malam, aku mengalami kontraksi.
“Inikah saatnya?” desisku
Suamiku segera menelepon Kawasaki Kyoodo Hospital, dan mereka mengajukan beberapa pertanyaan semisal, kontraksinya udah berapa menit sekali, dsb
Sebetulnya kontraksiku saat itu belumlah rutin benar. Kadang lima menit, kadang sepuluh menit. Tapi karena aku sudah pengen cepat-cepat melahirkan, dan rasa senewen begitu menghantuiku, jadi kujawab saja,
“Sudah rutin, lima menit sekali!”
Padahal suamiku sendiri sebetulnya masih agak sangsi dengan jawabanku.
“Mungkin ini yang palsu. Kalo balik badan sakitnya hilang gak?”
“Ah enggak ah! Ini asli!” jawabku sambil meringis menahan kontraksi.
Dalam ilmu Kedokteran, dikenal kontraksi palsu. Dimana rasa sakit belum rutin dan sakitnya masih bisa ditahan. Kalau kita berganti-ganti posisi, rasa sakitnya bisa hilang.
Tapi akhirnya suamiku mengalah.
“Ayolah kita ke rumah sakit!”
Leganya.
Tapi masalah lain menghadang. Perjalanan ke rumah sakitku itu memakan waktu dua jam. Naik kereta api dua kali, terus dilanjutkan naik bis. Jam berapa sampai di RS? Masih buka gak RS-nya?
Tapi yah, jalanin ajalah.
Jadilah kami bersiap-siap dan segera berangkat.
Sampai di luar, ternyata badai sedang mengamuk. Taifu istilahnya. Wadoh, ada aja halangannya. Sambil menahan sakit, aku gambatte menerjang badai. Di saat seperti itu sempat-sempatnya pikiran nyeleneh datang merasuki.
“Apa dinamain `TAIFU` aja ya ni anak?”
Kwak kwauu
Singkat cerita, sampailah kami di rumah sakit. Kami lewat jalan samping, karena RS sudah tutup. Pencet earphone, terdengar suara wanita, lalu dijawab oleh suamiku. Tak berapa lama, datang seorang perawat membukakan pintu untuk kami.
Ooh, begini toh caranya, pikirku takjub
Setelah diperiksa, ternyata belum pembukaan. Berarti melahirkannya masih lama. Tapi kenapa kontraksi-kontraksi sih? Berarti suamiku benar, jangan-jangan ini yang namanya kontraksi palsu itu. Pantesan sakitnya hilang-hilang timbul gituh.
Terbersit rasa kecewa dalam sanubari. Mosok mesti balik lagi sih! Menempuh badai lagi? Dua jam lagi?
“Karena rumahnya jauh, gak usah pulang, nginep di sini aja,” amboi, lembut nian suara suster itu. Bak angin syurga terdengar di telingaku
Alhamdulillah, baek banget nih suster. Suamiku juga boleh nginep, seranjang denganku. Ini namanya `berperikemanusiaan`, desisku. Coba kalo suamiku disuruh pulang, dibilang,
“Di sini gak ada tempat!” kan bisa berabe urusannya
Keesokan paginya, suamiku pulang, tapi aku tetap di rumah sakit.
Bosen juga yak, gak ngapa-ngapain di sini. Kutelepon mbak Emmy Waris
“Jalan-jalan aja mbak Mala, naik turun tangga, biar cepet melahirkan. Biar gak capek, naiknya pake lift, turunnya baru pake tangga,” dokter Emmy memberikan jurus jitu
Kuturuti saran dari mbak Emmy, berkeliling-keliling, melihat-lihat suasana. Kuintip ruangan melahirkan di lantai tiga. Bumbenshitsu namanya. Hiy! Aku bergidik ngeri membayangkan aku berada di ruang `eksekusi` itu. Untung juga bukan tadi malam melahirkannya, kayaknya mentalku belum siap deh! Allah memang Maha Mengetahui mental hamba-Nya yah, pikirku ngeles.
Kuhabiskan waktu dengan baca buku, ngaji-ngaji, zikir. Enak juga di sini yah, nyantai-nyantai, gak perlu kerja. Aku lalu membayangkan kegiatanku di rumah. Hm, kalau di rumah biasanya jam segini aku lagi nyuci nih. Duh, kenapa jadi kangen ama rumah yak. Tak terasa air mataku menetes.
Sorenya, suamiku datang Asyiik, jadinya gak kesepian nih, ada temen cerita-cerita.
Dokter wanita yang menanganiku, Fujiyama Sensei mengunjungiku. Beliau berkata kalau malam ini beliau tidak berdinas. Seandainya malam ini aku melahirkan, ada dua pilihan, ditangani oleh dokter laki-laki, atau oleh bidan. Suamiku memilih bidan.
“Tapi kayaknya sih masih lama, mungkin baru besok melahirkannya. Kalau besok siang, saya ada,” imbuh Fujiyama memberi harapan.
Malamnya, terjadi kontraksi `yang sebenarnya`. Alamak, sakitnya minta ampun. Ternyata sakit yang kemaren itu gak ada apa-apanya. Untung ada suamiku. Beliau tidak henti-hentinya membacakan Surah Yasin. Biar cepet ada keputusan, katanya. Kupegang tangan suamiku. Untung ada dirimu, Bang, desahku. Sendirian di negara orang begini, mana tahan. Bahasa Jepang gak bisa pulak.
Semalaman aku bergadang, ditemani oleh suamiku.
Kira-kira tengah malam, aku dipindahkan ke ruangan `eksekusi`, ruangan yang paling aku takuti selama ini. Tapi anehnya, sekarang perasaanku justru senang. Akhirnya sampai juga masa itu. Sebentar lagi penderitaanku akan berakhir, pikirku. Aku teringat buku persalinan yang kubaca. Seberat-beratnya rasa sakit, yakinlah bahwa itu semua ada `ujungnya`. Jadi aku lega bahwa sebentar lagi aku akan sampai di `ujung` itu.
Takahashi-san, bidan yang menanganiku, terlihat amat tenang. Dia bekerja seorang diri. Mulai dari mengeluarkan urine, mengeluarkan tinja. Step by step. Gak keburu-buru, gak grasa-grusu. Orangnya juga lembut
Suamiku tetap menemaniku, menghiburku saat kontraksi datang, membelai-belai rambutku. Takahshi-san juga, memberi aba-aba, kapan harus tarik napas, kapan harus buang napas. Beberapa kali aku mengejan, tapi belum berhasil juga. Takahashi-san masih nampak tenang, sementara aku sudah hampir kehabisan napas. Kepala si bayi lumayan besar, jadi agak susah keluarnya, pas-pasan. Ini sudah diprediksi sebelumnya, tapi karena masih bisa, jadi tidak perlu operasi. Tapi jadinya ya, aku harus lebih gambatte lagi nih.
“Mo chotto ne, gambatte!” Takahashi-san memberi semangat
“Itu kepalanya udah kelihatan!” seru suamiku.
Hah! Yang bener? Kukerahkan segenap tenagaku, dan…
“Oe oeee…!” Alhamdulillah! Akhirnya! Suamiku menciumku, wajahnya penuh berurai air mata. Oh, begitu lembut hatinya, begitu mulia hatinya, batinku
Setelah bayi dilap, seorang suster sudah siap dengan kamera
Hah! Mau difoto? Boleh. Segera kusiapkan senyum paling manis yang kumiliki, dan…”Ceklik!” Foto kenang-kenangan paling bersejarah dalam hidupku, bersama bayi mungil, Faisal Ghifari dan suami tercinta, M. Ridha
Terimakasih ya Allah, atas anugrah-Mu yang tak terhingga ini. Semoga Faisal Ghifari kelak menjadi anak yang soleh penyejuk mata kedua orang tua, menjadi kebanggaan agama, bangsa dan Negara. Amin ya robbal `aalaamiin
Catatan kaki
Mo chotto ne: sedikit lagi ya
Gambatte: ayo terus berjuang