Suatu hari di musim semi yang hangat, aku, Bang Ridha dan Faisal berkesempatan bertamasya ke Gunung Fuji. Faisal berusia satu setengah tahun waktu itu. Kami pergi bersama rombongan mahasiswa Indonesia dari berbagai universitas di Tokyo dan sekitarnya. Ada yang dari Tokyo Intitute of Technology (TIT), Universitas Tokyo, Universitas Waseda, dan lain-lain. Lumayan ramailah. Dalam perjalanan ini kami membayar 5 ribu Yen per orang. untuk sewa bis dan tiket masuk ke tempat wisata. Kalau makan siang dan cemilan tidak ditanggung alias bawa masing-masing.
Berangkat jam 8.30, matahari bersinar cerah. Perjalanan ke Gunung Fuji atau Fuji-san -demikian orang Jepang biasa menyebutnya- memakan waktu sekitar dua jam. Ketika hampir mencapai lokasi, tampak sosok Fuji-san samar-samar di kejauhan. Persis seperti yang selama ini kulihat di foto-foto. Gunung tunggal berwarna biru, berselimut salju di puncaknya. Hatiku bersorak gembira. Akhirnya kesampaian juga aku menyambanginya.
![](https://klikjaring.com/wp-content/uploads/2022/07/Brr-dingin.jpg)
![](https://klikjaring.com/wp-content/uploads/2022/07/Danau-Kawaguchi-ko.jpg)
Berbeda dengan gunung-gunung lainnya yang biasa disebut yama, Gunung Fuji disebut san. Tentang penyebutan Fuji-san –bukan Fuji-yama- hal ini dimaksudkan sebagai penghormatan terhadap Gunung Fuji karena merupakan gunung tertinggi di Jepang.
Ketika sampai di lereng Fuji-san, aku mendongak ke atas. Tampaklah badan gunung dari bawah sampai atas. Terharu, karena bisa berada sedekat ini. Seraya bibir menyebut, ‘Subhanallah, subhanallah.’ Perlahan-lahan bis merayap ke atas. Fuji-san memiliki lima step atau setopan berdasarkan ketinggiannya. Pada setopan pertama, yaitu ketinggian 700 meter bis berhenti. Kesempatan ini kami gunakan buat foto-foto. Pemandangan ke bawah sangat indah. Ditunjang pula oleh cuaca yang cerah dan suhu yang hangat. Padahal bawa coat dari rumah. Tapi di sini coat terpaksa dilepas. Aku dan suami saling berfoto. Tapi tampaknya ada sedikit masalah. Faisal meronta-ronta dan menangis. Selidik punya selidik, rupanya Faisal ingin memegang kamera. dia kepingin memotret juga seperti orang-orang. Ealah. Tentu saja permintaannya tidak bisa kami kabulkan. Kuatir kamera akan jatuh atau terbanting. Resikonya besar kan. Tangisan Faisal bertambah kuat karena permintaannya tidak dipenuhi. Untung bis tidak lama berhenti di sini. Lanjuut.
Bis terus merambat naik. Dan akhirnya kami sampai juga di atas, di setopan kelima, yaitu ketinggian 2700 meter. Penumpang dipersilakan turun di depan Fuji Visitor Centre. Wah, udaranya jadi dingin. Tanah ditutupi salju. Ooh, ini sudah mendekati puncak, berarti bukan wilayah “biru” lagi tapi sudah memasuki wilayah “putih”. Meskipun belum puncak yang paling atas. Fuji-san ini kan tingginya 3776 meter. Masih satu kilo lagi untuk mencapai puncak. Tapi tidak bisa dilalui mobil, harus berjalan kaki. Jadi ini adalah setopan terakhir menggunakan mobil. Masih ada lima setopan dengan berjalan kaki, untuk menuju pucak.
Angin berhembus kencang. Jilbabku berkibar-kibar diterpa angin dingin. Sebelum masuk ke gedung, kami foto-fotoan dulu di luar. Faisal menangis lagi, minta kamera. Waduh, hatiku jadi tak karuan, masa sih pose Faisal semuanya menangis? Enggak ada yang senyum sedikit pun? Jadi enggak konsen nih acara foto-fotoannya. Mana anginnya dingin banget lagi, jadi enggak tahan berlama-lama di luar. Ya sudah, akhirnya kami masuk ke dalam Fuji Visitor Center. Di dalamnya ada souvenir shop, restoran bahkan kantor pos. Lho, kenapa ada kantor pos segala? Iya, maksudnya biar bisa mengirim kartupos, dari Gunung Fujinya langsung. Keren, kan!
Di sini kami bertemu dengan Pak Husni, dosen Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala beserta keluarga. Beliau teman Bang Ridha. Sempat heran dan takjub juga, bisa bertemu teman di ketinggian begini. Padahal kami berada dalam rombongan yang sama. Tapi dari tadi kok enggak ketemu ya. Maklumlah, kan ramai yang ikut. Lalu aku berkeliling, hunting oleh-oleh. Cenderamata di sini lucu-lucu, ada kartupos, gantungan kunci dan lain-lain. Gemas melihatnya.
Setelah puas cuci mata dan membeli beberapa cenderamata, kami masuk kembali ke bis. Bis melaju turun, kali ini tujuannya Kawaguchi-ko, sebuah danau. Tempatnya lumayan asyik, kami makan siang dan sholat zuhur di sini, sekalian dijamak dengan sholat asar. Oh ya, di sini masih ada sisa-sisa sakura lho. Padahal kalau di Tokyo, sakura sudah gugur semua. Semakin ke utara, sakura semakin lambat mekar, dan otomatis juga maskin lambat gugur. Jika di Tokyo sakura mekar pada awal April, di Hokkaido sakura mekar pada bulan Mei. Sempat girang juga jadinya. Fuji-san ini terletak di perbatasan Perfektur Shizuoka dan Yamanashi, dikelilingi oleh tiga kota yaitu Gotemba (timur), Fuji-Yoshida (utara) dan Fujinomiya (barat daya). Gunung kebanggaan rakyat Jepang ini dikelilingi juga oleh lima danau yaitu Kawaguchi, Yamanaka, Sai, Motosu dan Shoji. Nah, Danau Kawaguchi ini yang paling mudah dicapai karena yang paling rendah. Kalau luasnya sih masih kalah dengan Danau Yamanaka. Acara foto-foto terus berlanjut. Faisal masih dengan pose nangisnya, hehe. Tapi sudah enggak seheboh tadi.
Kupikir acara sudah selesai sampai di sini. Rupanya belum. Bis berjalan menurun, bertolak menuju gua es. Gua es ini terletak di hutan Aokigahara. Namanya saja gua es, dinginnya minta ampun. Coat langsung kupakai, itu pun masih menggigil. Baru setelah suamiku meminjamkan sarung tangannya, aku enggak kedinginan lagi. Baik ya suamiku, rela berkorban demi istrinya, hihi. Masuk ke dalam, gua es ini terkesan mengerikan karena kecil, sempit dan gelap. Ada cahaya lampu namun remang-remang. Sepertinya cocok kalau dijadikan seting film horor. Terus terang aku menguatirkan Faisal. Kuatir dia nangis karena ketakutan. Tapi anehnya dia malah tenang-tenang saja tuh. Apa dia menyukai suasana horor macam begini ya?
Setelah itu kita melewati jalan menurun yang hanya muat untuk satu orang. Jalannya agak licin jadi harus hati-hati takut terpeleset. Untung ada pegangan dari bambu. Kalaupun jatuh masih sempet pegangan kan.
Sampai di bawah ada bongkahan batu es yang besaar sekali. Ealah, ternyata tadi itu kita berjalan di atas batu es. Ya ampun, pantas licin. Untung saja dilapisi kain, kalau enggak makin licin lagi kan. Sampai di akhir gua, ada stalagtit dan stalagnit yang terbuat dari es. Tapi sayangnya ditutup oleh jeruji besi. Takut ada yang iseng kali ya, memotong stalagtit dan stalagnit itu. Jadi pas kupotret, yang kelihatan jelas malah jeruji besinya, hihi.
Keluar dari hutan Aokihagara, bis masih melanjutkan perjalanan. Kali ini ke toko cenderamata. Tapi kami hanya cuci mata saja, soalnya harganya mahal-mahal sih. Enggak sesuai dengan kantong mahasiswa, hehe. Tubuhku juga sudah penat, jadi agak-agak kurang bersemangat. Untunglah ini adalah destinasi kami yang terakhir. Bis pun bertolak pulang. Kupandangi Fuji-san samar-samar di kejauhan, seolah mengucapkan salam perpisahan padaku. Selamat tinggal Fuji-san. Moga suatu saat kita bisa berjumpa lagi.