Fukui. Kami ke kota ini karena Bang Ridha -suamiku- menghadiri konferensi di sini. Fukui terletak di Jepang bagian tengah (Honshu), dekat dengan Kyoto dan Gifu. Kami menginap di rumah Bang Syahrun Madjid, seorang Dosen MIPA USK. Setelah mengunjungi Angel Land, sebuah museum pengetahuan, petualangan kami masih berlanjut. Bang Syahrun dan istrinya, Fani mengajak kami ke sebuah pantai di daerah Mikuni, Sakai.
Awalnya aku sempat merasa heran, mengapa mereka ingin mengajak kami ke pantai. Matahari sudah tergelincir ke ufuk Barat. Rasa kantuk dan letih membuatku ingin segera pulang dan bergelung di atas kasur. Bagiku, pantai tidaklah terlalu istimewa. Di Banda Aceh banyak sekali pantai yang eksotis dan indah, jadi untuk apa sih susah-susah mengajak kami ke pantai lagi? Tapi berhubung kami adalah tamu dan Bang Syahrun serta Fani sudah bersusah-payah mengantar kami jalan-jalan, kami menurut saja. Pasti mereka punya alasan. Dan mungkin ada sesuatu yang istimewa di sini. Entahlah.
![](https://klikjaring.com/wp-content/uploads/2022/07/Pantai-Tojinbo-1.jpg)
![](https://klikjaring.com/wp-content/uploads/2022/07/Tojinbo-Beach-2.jpg)
Kami melewati jalan tol yang panjang dan lengang, sebelum akhirnya sampai ke tujuan. Dan akhirnya, inilah pantai itu, Tojinbo, atau Tojimbo, menurut dialek orang Jepang. Setelah Bang Syahrun memarkir mobil di tempat parkir, kami segera bergegas turun.
Ternyata tempat ini memang sungguh berbeda dengan pantai yang pernah kulihat selama ini. Pantai Tojinbo, merupakan satu dari tiga fenomena dinding andesit sedunia, selain di Korea dan Norwegia. Tojinbo adalah sebuah cliff, pantai karang yang curam. Laut seolah dipagari oleh pantai yang terjal dan kokoh. Hatiku berdecak kagum. Subhanallah. Birunya laut berpadu dengan terjalnya karang. Indah. Tapi kenapa bentuknya bisa curam seperti ini ya? Namanya aja pantai cliff, artinya pantai yang curam. Pantai seperti ini lumayan banyak di Indonesia, di Jawa Barat dan Indonesia Bagian Timur. Tanah Lot di Uluwatu, Bali, juga merupakan pantai curam. Kenapa dia bisa curam, ternyata ini akibat dari erosi air laut yang terus menerus.
Namun di balik keindahannya, terselip sesuatu yang membuatku takut. Hatiku menjadi tergetar, antara takjub dan ngeri. Semua berbaur jadi satu. Aku merasa begitu kerdil di tengah-tengah ciptaan-Nya. Laut yang begitu luas, dipagari oleh karang yang seolah-olah tiada bertepi. Allahu Akbar. Maha Besar Engkau ya Allah. Dan ini hanyalah salah satu dari ke-Maha Besaran-Mu ya Robb. Awalnya, kami hanya foto-fotoan di bagian yang berpasir saja, gak mendekat ke laut. Aku gak berminat untuk foto-fotoan di bagian yang berkarang Ngapain sih ke sana-sana. Di sini juga udah oke kok pemandangannya. Terselip rasa ngeri. Takut kepeleset. Tapi lama-kelamaan, entah setan apa yang membujukku. Tiba-tiba saja, dengan keberanian yang entah dari mana datangnya, dengan langkah tegap aku melangkahkan diri menyusuri pantai nan terjal itu. Dengan pikiran yang fokus dan teramat berhati-hati, kutiti karang demi karang. Suamiku tercinta memegangku erat-erat, kuatir aku akan terpeleset dan jatuh.
Aku heran mengapa beliau tidak melarangku, malah mendukungku untuk berfoto-ria di pantai yang terjal seperti ini. Tapi ah sudahlah, untuk apa dipertanyakan lagi. Seharusnya aku bersyukur karena sudah diperbolehkan menempuh medan yang berbahaya. Amat berbahaya malah. Mungkin beliau berpikir, “Sekali-kali gak pa-palah. Toh kesempatan seperti ini jarang ada tho?” Faisal kecil ikut bersama kami. Dia juga tampaknya menikmati, meniti karang demi karang dengan hati-hati. Kalau Faisal sih seneng banget dengan sesuatu yang menantang seperti ini, hehe. Dan kini, sampailah aku di tengah-tengah pantai berbatu Tojinbo. Tegar, kokoh, eksotis. Aku kehabisan kata-kata. Kosa kata yang kumiliki seolah tak cukup untuk menggambarkan keelokannya. Aku merasa begitu kerdil di tengah-tengah ciptaan-Nya yang luar biasa berupa hamparan batu andesit ini. Aku begitu kecil, kecil. Tidak ada apa-apanya. Rasanya tak perlu semua kesombongan itu. Apa artinya diriku, tanpa curahan kasih sayang dari Sang Pencipta. Ampuni aku ya Robb.
Aku memandangi hamparan bebatuan di hadapanku. Batuan andesit, bagaimana dia tercipta? Dalam pelajaran Geografi, andesit termasuk batuan beku, yang terjadi dari magma yang mengalami proses pendinginan, dan kemudian membeku. Lho, bukannya magma berada dalam gunung berapi? Bagaimana caranya dia bisa sampai ke sini? Lagipula magma itu kan cair dan panas. Menurut istilah Pak Broto, guru IPA jaman SD dulu “dapurnya gunung berapi”. Sedangkan andesit padat dan sangat keras. Bagaimana magma yang cair bisa menjelma menjadi andesit yang keras? Dan bagaimana aktifitas gunung berapi bisa menciptakan sebuah pantai berbatu? Otakku yang kecil ini tak sanggup berpikir. Proses pembentukan pantai ini begitu rumit, dan pastilah memakan waktu yang lama. Mungkin ribuan atau jutaan tahun. Oh, ternyata dugaanku salah. Berdasarkan data dari Wikipedia, Pantai Tojinbo terbentuk 12 sampai 13 milyar tahun yang lalu. Subhanallah, betapa lamanya. Tak heran kalo hasilnya menakjubkan begini. Hasil karya “Sang Maestro” yang memakan waktu sampai belasan milyar tahun!
Kembali ke laptop, eh maksudnya magma. Kenapa dia bisa meleleh ya? Magma dapat berasal dari batuan setengah cair ataupun batuan yang sudah ada, baik di mantel ataupun kerak bumi. Umumnya, proses pelelehan terjadi oleh sebab salah satu dari proses-proses berikut: kenaikan temperatur, penurunan tekanan, atau perubahan komposisi. Oh ternyata itu jawabannya. Gak penasaran lagi kan sekarang.
Aku kembali terpekur. Dari satu macam batuan saja hatiku sudah berdecak kagum, Dan andesit hanya salah satu contoh batuan beku. Ada lebih dari 700 tipe batuan beku yang telah berhasil dideskripsikan, dan sebagian besar terbentuk di bawah permukaan kerak bumi. Bayangkan, 700 jenis, Saudara-saudara, dan itu baru batuan beku saja. Belum lagi batuan yang lain seperti sedimen dan metamorfosa. Betapa banyaknya ragam bebatuan di muka bumi ini. Dan sekali lagi,sebagian besar terbentuk di bawah permukaan kerak bumi. Berarti pantai karang yang menjulang tinggi ini hanya sebagian kecil saja? Sebagiannya lagi tertanam di dasar laut sana? Lagi-lagi aku geleng-geleng kepala memikirkan ciptaan Allah yang tiada habis-habisnya ini.
Setelah puas berfoto kami kembali ke daratan. Duduk-duduk menikmati semilir angin sambil mengobrol. Wah kalau ada jagung bakar enak nih. Jadi ingat Ullelheue. Menikmati kencangnya angin sembari menyantap jagung bakar dan menatap mentari yang hendak berangkat ke peraduan. Amboi indahnya. Kenapa jadi menghayal begini yak.
Bang Syahrun bercerita kalau di pantai ini sering ada peristiwa bunuh diri. Waks! Bu…bunuh diri? Mengerikan sekali. Tempat ini memang sangat berbahaya. Aku sudah membuktikannya sendiri tadi. Untung Bang Syahrun baru cerita sekarang. Kalau tadi, mungkin aku gak akan berani ke tengah pantai berkarang itu. Foto-fotoan pula. Untung gak sambil bercanda. Gimana mau bercanda, wong udah tegang banget.
Masih ada serentetan pertanyaan dalam benakku. Daripada penasaran, kutanyakan pada Bang Syahrun,
”Bang, ngomong-ngomong, Tojinbo artinya apa sih?”
Bang Syahrun menjawab,
“Tojinbo itu nama seorang pendeta. Ada legenda yang mengerikan sehubungan dengan pantai ini, namanya Legenda Tojinbo.” Aku menyimak baik-baik pernyataan Bang Syahrun. Menurut legenda itu, pendeta Tojinbo yang jatuh cinta kepada seorang putri bangsawan, didorong oleh saingannya dan jatuh ke laut. Arwahnya murka dan kutukannya mengundang hujan angin selama 49 hari 49 malam, sehingga setiap tanggal 5 April penguasa daerah ini perlu menyelenggarakan upacara pemujaan kepada sang arwah pendeta demi meredakan badai.
Dan malangnya, entah terinspirasi dengan legenda itu, atau hanya secara kebetulan, pantai ini sering dijadikan lokasi bunuh diri. Ternyata Tojinbo, di samping panoramanya yang menakjubkan, juga menyimpan sejarah yang getir bernama Legenda Tojinbo.
Hatiku bergidik ngeri mendengar penjelasan Bang Syahrun. Teringat waktu foto-fotoan di bibir pantai tadi. Untung gak nengok-nengok ke bawah. Kalau sempet, terus oyong dan kecebur, aduh. Na ‘udzubillah min dzalik deh. Aku memejamkan mata, berusaha menghilangkan gambaran buruk yang mungkin terjadi.
Jepang, tercatat sebagai salah satu negara yang memiliki angka bunuh diri tertinggi di dunia, yaitu sekitar 33.000 orang per tahun (tahun 1998-2008). Wah ternyata di balik gemerlap dan kecanggihan teknologinya, Negeri Matahari Terbit ini menyimpan kisah pilu ya. Dan mirisnya semakin lama angka bunuh diri itu menunjukkan tren yang semakin meningkat dan meluas ke banyak orang. Alasan utama bunuh diri di Jepang saat ini umumnya karena tekanan ekonomi, pengangguran, stress, kesepian, sakit dan terjerat hutang. Ternyata macam-macam ya latar belakangnya. Beda dengan jaman sekarang, kalau jaman dulu ada latar belakang budaya seperti seppuku alias harakiri, di jaman samurai, dan jibaku kamikaze di zaman perang. Demi menjaga harga diri, daripada hidup menanggung malu lebih baik MATI. Jadi bunuh diri tidak dianggap sebagai aib. Karena ada latar belakang budaya seperti ini jadi agak sulit mencegah orang bunuh diri. Pemerintah pun menganggap masalah ini adalah masalah personal, jadi tidak mau ikut campur. Menyedihkan.
Balik lagi ke Pantai Tojinbo, awalnya hanya sekitar 25 orang yang mengakhiri hidupnya dengan cara terjun dari ketunggian 70 kaki ini. Kebanyakan dari mereka adalah generasi muda yang penuh harapan. Seiring waktu, jumlahnya makin meningkat dan mencapai angka 200 orang per tahun (Desember 2009). Melihat begitu banyaknya mayat yang mengapung di Laut Tojinbo, mengundang keprihatinan seorang purnawirawan polisi, Shige Yukio
Beliau sebenarnya tak mengetahui secara pasti, berapa banyak orang melompat mengakhiri hidup dari tebing berkarang Tojinbo, yang menghadap pantai Laut Jepang (Laut Timur).
“Saya melihat sebanyak 10 mayat diangkat dalam satu bulan. Benar-benar mengejutkan, namun apa yang lebih menyentuh hati adalah warga mengatakan hal tersebut normal di tempat seperti itu.”
Sejak pensiun, ia membuka kafe kecil dekat ujung tebing dan mendirikan counseling center yang melayani curhat, pengaduan masalah-masalah psikologis agar dapat diarahkan menghindari bunuh diri. Metode Shige membujuk seseorang untuk tetap mau melanjutkan hidupnya cukup sederhana. Saat ia melihat seseorang berdiri di tepian tebing, ia berbicara dengan halus dan mengajaknya jalan menuju kafe miliknya untuk menikmati kue hangat.
“Anda bisa melihat dengan jelas orang yang putus asa dengan cara berdiri mereka di sisi tebing. Sebagian besar dari mereka tampak terselamatkan dan menitikkan air mata saat saya menyapa.”
Sejak ia berpatroli sepanjang 1,4 km tebing berkarang dengan sesekali melihat lewat teropong pembesar. Ia bersama kelompok berhasil mencegah 167 orang melompat dalam rentang 4 tahun 8 bulan terakhir. Sekarang, untuk mencegah orang bunuh diri, di setiap sudut karang terpancang peringatan-peringatan seperti:
“Jangan habisi, nyawa yang diperoleh dari orang tua.”
“Tunggu dulu, kenanglah suara ibunda.”
Di kotak telepon umum, tertempel tulisan “Pentingkanlah nyawa!” disertai daftar nomor yang perlu diputar jika ada niatan untuk bunuh diri, dan tempat duduk nyaman agar penelepon dapat menikmati pembicaraan dengan keluarga, sahabat atau petugas penyelamat.
Kepedulian orang-orang seperti Shige Yukio patut diacungi jempol. Saat ini sudah mulai banyak masyarakat Jepang yang peduli terhadap masalah bunuh diri di Jepang. Angka 33.000 memang bukan angka yang kecil dan itu sangat mempengaruhi tingkat produktivitas di Jepang. Masa muda yang harusnya diisi dengan bekerja dan mencari penghidupan, alangkah tragis jikalau harus diakhiri dengan kematian secara sengaja alias bunuh diri.
Begitu pula dengan Pantai Tojinbo. Pantai yang seharusnya menjadi lahan perenungan tentang kebesaran Sang Maha Pencipta, sayangnya malah “disalahgunakan”. Dijadikan sarana untuk mengakhiri hidup secara tragis. Sayang, sungguh sayang.