Tersesat di kota tua Kyoto. Aku dan Bang Ridha memasuki sebuah halaman bersuasana rindang, walau sama sekali tak tahu gerangan tempat apakah ini sebenarnya. Maklum kami bukan warga Kyoto, jadi buta sama sekali tentang kota ini. Hm, sepintas lalu kelihatannya bukan seperti tempat wisata. Rasa penasaran membuat kami tetap melangkahkan kaki memasuki area dan membeli tiket sebesar 400 Yen. Setelah melintasi pintu bertuliskan “Murin-an”, mata disuguhi pemandangan seperti hutan kecil dan beberapa buah rumah. Lho, ini rumah atau tempat wisata sih? Benakku masih diselubungi tanda tanya. Apa istimewanya tempat ini? Rumah kok bisa jadi tempat wisata sih? Tapi sudah terlanjur beli tiket nih, masak mau keluar lagi? Coba dinikmati sajalah.
![](https://klikjaring.com/wp-content/uploads/2022/07/Foto-murin-an-depan-tea-house.jpg)
Ada tiga buah rumah. Rumah pertama bergaya Jepang, terbuat dari kayu dan lantainya dari tatami. Rumah kedua juga bergaya Jepang, namun bertingkat. Tampaknya inilah yang merupakan bangunan utama. Rumah ketiga juga bertingkat, namun bergaya Western. Sayangnya itu semua belum menjawab pertanyaanku.
“Ngapain ada rumah di tengah hutan gini?” Daripada penasaran, kucoba mencari informasi melalui booklet yang dibagikan ketika membeli tiket tadi. Untungnya selain bahasa Jepang, ada bahasa Inggrisnya juga. Tertulis di situ:“Murin-an, sebuah villa yang berlokasi dekat dengan Kuil Nanzen-ji, dibangun pada tahun1894-1896 oleh Yamagata Aritomo, seorang veteran pada periode Meiji (1868-1912) dan Taisho (1912-1926).”
Ooh, jadi Murin-an ini adalah sebuah villa toh. Aku manggut-manggut antara mengerti dan tidak. Wah, villa saja bisa jadi tempat wisata ya. Kok bisa sih? Aku teringat villa-villa di daerah Jawa Barat, bisa enggak ya dijadikan tempat wisata? Kalau punya nilai sejarah mungkin bisa. Lumayan kan, bisa menjadi sumber pemasukan.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Di rumah pertama yang bergaya Jepang, kita bisa melihat penampilan “tea ceremony” dengan membayar 300 Yen. Tapi aku kurang berminat karena sudah pernah melihat di televisi. Enggak penasaran lagi. Sebenarnya yang membuat penasaran adalah bangunan bergaya Western itu. Kalau rumah bergaya Jepang kan sudah sering kulihat. Tapi sayangnya enggak boleh naik ke lantai dua. Hm, sebersit rasa kecewa menggelayuti jiwa. Kenapa sih enggak boleh masuk, lha kan udah bayar? Walau kesal tapi tetap berusaha berprasangka baik, mungkin takut bangunannya cepat roboh. Maklumlah, bangunan ini kan udah berusia ratusan tahun. Dan merupakan warisan dunia yang perlu dijaga kelestariannya. Bisik sisi batinku berusaha bijaksana.
Untuk menjawab rasa penasaran, kubuka kembali booklet tadi. Tampak beberapa buah foto tentang pemandangan di sekitar Murin-an. Ada rumah Jepang dengan sungai yang mengalir di depannya. Juga foto ruangan bergaya Western. Wah kebetulan. Sedang penasaran begini menemukan foto yang bisa menjawab rasa penasaran itu. Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah. Terima kasih karena telah mengerti keinginanku, walau cuma terbersit dalam hati.
Dalam ruangan Western terdapat seperangkat sofa berwarna ungu cerah, lampu antik, dan karpet. Ada dua buah jendela dan wow, lukisan bergaya Jepang di dinding itu bagus sekali. Ada lukisan bunga sakura berwarna putih, juga burung bangau. Kalau dilihat sih pelukisnya pasti seorang yang sangat ahli, seorang Maestro. Yah, harap maklum karena pelukisnya adalah jebolan sekolah melukis Kano, yang kualitasnya tidak perlu diragukan lagi. Dan walaupun bergaya Western, tapi unsur-unsur Jepang tidak dilupakan. Ada semacam dualisme antara Barat dan Timur. Antara modern dan tradisional.
Tapi kenapa ada unsur Western ya, bukannya Jepang fanatik sekali dengan budaya sendiri? Jika kita menilik sejarah, ada waktu-waktu di mana Jepang tertutup bagi dunia luar. Artinya mereka tidak menerima kunjungan pendatang-pendatang asing mana pun, dan menolak pengaruh budaya asing. Tindakan drastis ini diambil oleh Shogunat Tokugawa pada tahun 1639. Tujuannya adalah untuk melestarikan persatuan nasional dan nilai-nilai Jepang asli.
Beberapa waktu sebelumnya yaitu saat era Muromachi, sebenarnya orang-orang Barat pertama sudah mencapai pantai Jepang. Para saudagar Portugis mendarat di sebuah pulau kecil di barat daya Jepang pada tahun 1543, dan memperkenalkan senjata api pertama ke negeri ini.
Beberapa tahun kemudian masuk pula kaum misionaris dan berhasil menarik banyak pengikut baru di Jepang Selatan. Menyadari akan gelagat tersebut, Shogunat Tokugawa kemudian melarang agama Kristen. Para misionaris Kristen tidak boleh lagi memasuki Jepang, kecuali orang Belanda dan Cina yang dibatasi geraknya di Pulau Dejima, Nagasaki.
Selama dua setengah abad, koloni di Pulau Dejima merupakan satu-satunya titik kontak Jepang dengan peradaban Eropa. Melalui pintu inilah para sarjana Jepang menimba ilmu pengetahuan dan sekaligus berkenalan dengan teknologi yang lebih maju pada masa itu.
Selama masa isolasi, bangsa Jepang mengalami perkembangan yang mengarah pada sikap kebanggaan diri yang sempit. Tertutupnya pintu terhadap dunia luar membawa kemunduran yang tak pernah diperkirakan oleh para penguasa negeri.
Pada awal abad ke-19 Jepang makin terdesak untuk membuka pantai-pantainya bagi dunia luar. Rakyat merasa era Tokugawa sudah tak sesuai dengan perkembangan jaman. Pada tahun 1853 Komodor Mattheuw C. Perry dari Amerika Serikat memasuki Teluk Tokyo dengan satu skuadron empat kapal. Tahun berikutnya, ia berhasil membujuk Jepang untuk menanda tangani ‘perjanjian persahabatan’ dengan Amerika Serikat.
Selanjutnya Jepang akhirnya menanda tangani pula perjanjian kerjasama dengan Rusia, Inggris, Belanda dan Perancis. Akibat peristiwa tersebut, bertambah pula tekanan sosial dan politik yang mulai menggerogoti fondasi struktur feodal. Nasib Shogunat Tokugawa berada dalam bahaya. Akhirnya pada tahun 1867 runtuhlah kekuasaan shogunat dan beralih ke tangan Kaisar Meiji yang segera melakukan berbagai perombakan di segala bidang. Perombakan ini dikenal dengan istilah Restorasi Meiji.
Nah, sekarang jadi jelas kan kenapa ada bangunan bergaya Barat yang berkolaborasi dengan gaya Jepang? Murin-an dibangun pada era Kaisar Meiji, saat mana pintu isolasi dibuka, khususnya terhadap dunia Barat. Kala itu Jepang mengadakan modernisasi besar-besaran, sehingga bisa melesat maju, bahkan pertumbuhannya menyamai negara-negara Barat. Jadi Murin-an merupakan bukti sejarah masuknya budaya Barat ke Jepang.
Sudah cukup kan pelajaran sejarahnya. Sekarang yuk kita mengitari taman di Murin-an ini. Suasana begitu lengang, hanya ada suara-suara serangga yang bergema. Sebetulnya hatiku masih diliputi kekecewaan. Kyoto amat sepi. Padahal kota tua ini merupakan incaran turis seluruh dunia. Tapi kenapa sepi ya? Rupanya kami salah waktu. Kyoto ramai pada dua musim. Pertama saat musim semi saat sakura mekar, dan kedua saat musim gugur saat daun berubah warna, merah kuning hijau. Kami datang pada bulan September, saat akhir musim panas dan akan memasuki musim gugur. Tidak ada even apa pun di bulan ini, wajar kalau sepi turis. Jadi inget lagu Ebiet; “Salah siapa, ini salah siapa”. Hm, rasanya bukan salah siapa-siapa. Bang Ridha menghadiri konferensi di Fukui pada bulan ini. Dan karena Fukui dekat dengan Kyoto, maka beliau mengajakku turut serta. Dan aku sudah lama memendam keinginan menyambangi Kyoto. Bukankah itu hal yang patut disyukuri. Come on, jangan hanya mengeluh! Cobalah membuka mata dan banyak bersyukur.
Kami terus berjalan. Di bagian belakang ada sebuah sungai kecil dan dangkal. Kami berfoto-foto di situ. Aku dengan perut buncit dan senyum yang agak dipaksakan. Suasananya tenang banget. Bunyi air bergemericik membuat hati damai. Angin bertiup sepoi-sepoi menyejukkan. Faisal -anakku yang berusia tiga tahun- meniti batu-batu yang banyak terdapat di sungai itu. Kadang-kadang dia melompat, riang sekali kelihatannya. Melihat keriangannya, hatiku sedikit terhibur. Bagi anak kecil, hal-hal sederhana seperti batu-batu ini saja bisa menciptakan kegembiraan tersendiri. Hatiku terenyuh. Mengapa orang dewasa sepertiku sulit sekali dihibur hatinya. Bukankah tempat ini indah? Hutan kecil yang berisi aneka satwa lumayan indah dan membuat teduh suasana, bagaikan sebuah oase. Suara-suara serangga yang bergema dan gemericik air sungai juga membuat hati bahagia. Di samping itu aku juga bisa melihat saksi bisu sejarah kegemilangan era Meiji. Kurang apa lagi? Perlahan-lahan rasa kecewa itu memudar dan berganti dengan keriangan.
Catatan kaki:
Tatami: adalah semacam tikar yang berasal dari Jepang yang dibuat secara tradisional. Terbuat dari jerami yang sudah ditenun, namun saat ini banyak dibuat dari styrofoam. Tatami mempunyai bentuk dan ukuran yang beragam, dan sekelilingnya dijahit dengan kain hijau yang polos.
Referensi : Wikipedia