Setelah berkelana di Kyoto selama dua hari, kami belum tahu ke kota mana selanjutnya kaki ini akan melangkah. Apakah ke Kobe atau Nagoya? Segala kemungkinan masih terbuka luas. Namun pertemuan dengan dua pemuda Aceh menyeret takdir ke arah yang tak terduga: Osaka. Kami bertemu dengan Syarifuddin dan Azhari, saat makan malam di salah satu restoran Indonesia di Kyoto. Kak Ely mengajak kami ke restoran ini karena merupakan favorit masyarakat Indonesia di sana, semacam tempat kumpul-kumpullah. Kedua pemuda asal Aceh ini bekerja magang di salah satu pabrik di Osaka. Jarak Kyoto-Osaka yang dekat membuat mereka sering menyambangi Kyoto. Syarifuddin berkepala plontos sehingga dijuluki “Ronaldo”. Pria yang hangat dan ramah ini berasal dari Samutti, Bireun, dan masih ada hubungan famili dengan ayahku. Sedangkan Azhari, pria ganteng ini sedikit kalem walaupun tetap ramah. Bertemu dengan saudara sekampung di perantauan membuat kami langsung akrab. Mereka menawarkan diri menjadi pemandu wisata jika kami ingin ke Osaka. Tawaran yang sungguh menarik. Setelah berpikir masak-masak, akhirnnya tercapailah kesepakatan menyambangi kota terbesar kedua setelah Tokyo itu.
![](https://klikjaring.com/wp-content/uploads/2022/07/Osaka2.jpg)
![](https://klikjaring.com/wp-content/uploads/2022/07/Osaka3.jpg)
Sampai di apartemen Kak Ely, aku demam. Mungkin karena kecapaian seharian keliling Kyoto. Teringat janji dengan Ronaldo dan Azhari, suamiku langsung menelefon. Mengatakan kalau aku demam, sehingga acara ke Osaka besok bisa saja batal. Tergantung kondisi fisikku. Jika aku sehat maka perjalanan ke Osaka tetap dilanjutkan.
Malam itu, aku tidur dengan harap-harap cemas. Sebagai penggemar travelling, aku sangat ingin ke Osaka. Tapi mengingat kondisiku yang hamil dan terkapar karena sakit, tentu tidak boleh memaksakan diri. Jadi aku berdoa semoga besok pagi aku sudah sehat kembali.
Syukurlah, Allah mendengar doaku. Keesokan paginya, aku terbangun dengan badan lebih segar, dan demamku juga hilang. Bahagianya hatiku. Suamiku langsung menelefon Ronaldo dan menyatakan bahwa rencana kami jadi. Kami janjian bertemu di suatu stasiun. Selain Ronaldo dan Azhari, ada seorang anggota rombongan lagi, Yuli. Dia pekerja magang juga.
Setelah bertemu, langsung melakukan perundingan, enaknya kemana ya? Awalnya, mereka menyarankan Universal Studio. Tawaran yang menarik. Tapi kelihatannya akan sangat menguras energi. Pertimbangan kondisi fisikku yang lemah membuat kami harus berpikir panjang. Kira-kira tempatnya harus dekat dengan stasiun, dan tidak perlu jauh berjalan kaki. Jadi kami menolak ke Universal Studio. Dan akhirnya pilihan jatuh pada Istana Osaka.
Setelah mencari tahu keberadaan Istana Osaka, aku mempersiapkan fisik dan mental untuk mencapainya. Firasatku mengatakan bahwa ini merupakan medan yang berat, sama seperti kemarin-kemarin. Namun aku terlalu sumringah dan berusaha menepis segala kekhawatiran.
Agar tidak repot menggeret-geret travelling bag, kami menitipkannya di loker stasiun, dengan biaya 300 Yen. Keluar dari stasiun, seketika itulah kami menyadari bahwa anggapan kami salah. Kami mengira Istana Osaka berada dekat dengan stasiun. Ternyata antara harapan dan kenyataan berbanding 180 derajat. Untuk mencapai istana, kami harus melewati Osaka Jo, taman seluas 1.070.000 meter persegi. Mengingat hari sudah beranjak siang dan jauhnya medan yang harus ditempuh, diputuskan untuk makan siang lebih dahulu. Kami membeli nasi kotak dan memakannya di Osaka Jo. Di taman ini kami melihat anak-anak muda yang tengah berlatih musik. Osaka Jo memang merupakan tempat favorit untuk mengadakan berbagai festival, pagelaran musik, aksi akrobatik dan pertunjukan komik di setiap akhir pekan.
Selesai makan, kami melanjutkan perjalanan. Di tengah-tengah taman inilah Istana Osaka tegak menjulang, dengan kombinasi warna putih, hijau muda dan keemasan. Cuaca sedikit mendung, sehingga tidak menghalangi langkah kaki kami menyusuri jalan menuju istana.
Namun mengingat dan menimbang betapa jauhnya perjalanan yang harus kami lewati, sebersit keraguan muncul dalam sanubari. Sanggup enggak ya, jalan sejauh itu. Tapi aku mencoba meneguhkan pendirianku. Pertama, travelling bag sudah dititipkan di locker stasiun dengan biaya 300 Yen. Engak masalah sih. Enggak terlalu rugilah. Untuk ukuran Jepang, 300 Yen atau Rp. 30.000 itu enggak terlalu mahal. Kedua, aku mengetahui informasi dari sahabatku Mbak Dian Budi Setiawan, bahwa Istana Osaka sebetulnya adalah sebuah museum. Dan aku merupakan seorang pencinta museum. Nah atas dasar itulah aku tidak ingin membatalkan niat suciku tersebut.
Dan kekuatiran itu rupanya juga melanda suamiku. Sebentar-sebentar beliau bertanya dengan nada prihatin,
“Mama masih kuat?” Yang kujawab dengan anggukan. Aku sangat mengerti, suamiku tak hanya menguatirkan diriku, tapi juga kedua jabang bayi kami. Saat itu, usia kehamilanku sudah mencapai empat bulan. Menurut Tokuyama Sensei, dokter kehamilan yang memeriksaku, kehamilan dengan dua janin adalah kehamilan yang beresiko. Dan beliau berpesan agar aku tidak terlalu banyak bergerak supaya bayi tidak lahir prematur. Jadi, kekuatiran suamiku adalah kekuatiran yang sangat beralasan.
Setelah sekian lama berjalan, belum nampak tanda-tanda kami akan mencapai finish. Sosok Istana Osaka sendiri belum kelihatan, sehingga kami tidak bisa memperkirakan jarak yang harus kami tempuh. Padahal sebetulnya kita bisa search tempat yang ingin kita kunjungi di Google. Tapi karena kunjungan ke Osaka ini bersifat dadakan, jadi kami memang belum punya gambaran apa-apa. Dan pada masa itu kami belum familiar dengan Google.
Jauh sudah kami berjalan, dan akhirnya sampailah kami di pelataran istana.
Tapi jangan mengira perjalanan kami sudah mencapai akhir. Suamiku berseru dengan girangnya,
“Mama, itu Istana Osaka, atapnya udah keliatan!”
Benar juga. Dari jauh, tampaklah Istana Osaka bagian atas. Senang melihat tujuan kami sudah berwujud. Tapi aku mengeluh dalam hati. Masih jauh banget ya ternyata. Kirain udah deket. Tapi aku tetap berjalan, walaupun dengan teramat perlahan.
“Nah, kan udah liat atapnya, pulang yuk!”
Aku terperangah mendengar pernyataan suamiku. Pulang? Hanya melihat atap saja sudah puas dan ingin pulang?
“Hah, pulang?” aku bertanya dengan nada tidak percaya. Kepinginnya sih ngucek-ngucek mata atau garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Tapi tak usah selebay itulah.
“Iya, itu kan udah liat atapnya? Enggak usah ke sana lagilah.” Hm. Aku tidak mau menerima begitu saja.
“Enggak mau ah, masak cuma liat atap doang. Mala kan pingin liat dalamnya,” kataku. Ini sudah separuh jalan. Kalau kita pulang tanpa sempat masuk ke istana, betapa ruginya. Kami sudah menempuh jarak ribuan kilometer. Mulai dari Kawasaki, lalu Fukui, Kyoto dan akhirnya Osaka. Tinggal beberapa puluh meter lagi, kami akan mencapai Istana Osaka. Haruskah aku mengurungkan niatku? Tidak, tentu saja tidak, Saudara-saudara. No way back! Tak ada jalan pulang dan berbalik ke belakang. Sebelum sampai tujuan.
Maaf suamiku, bukannya aku ingin melanggar perintahmu. Bukan pula aku tidak mendengar nasehat dokter. Tapi ini sudah kepalang basah. Terlanjur basah, ya sudah mandi sekali, kata penyanyi dangdut Meggy Z. Lho kok jadi melantur nih. Yah maksudnya sedikit lagi perjalanan akan mencapai titik akhir. Betapa sayangnya jika kami menyerah, padahal tujuan kami sudah teramat dekat?
Akhirnya suamiku menyerah pada kekerasan hatiku. Kami tetap melanjutkan perjalanan. Dengan didampingi para pengikut yang setia, Ronaldo, Azhari dan Yuli. Sesekali aku tertinggal di belakang, namun mereka menungguku dengan sabar. Semakin mendekati akhir, perjalanan makin menanjak. Istana Osaka terletak di daratan yang paling tinggi dibandingkan sekitarnya. Ibarat kata, semakin dekat dengan kebahagiaan, semakin banyak godaan dan jurang juga semakin terjal. Nafasku hampir putus rasanya. Ingin rasanya berhenti di sini, tapi enggak mungkin. Jarak dengan Istana Osaka tinggal beberapa meter lagi. Hatiku diliputi kebimbangan. Ingin minta tolong tapi tidak tahu kepada siapa. Masak mau minta gendong sih? Malu-maluin aja. Jadi hanya kepada Allahlah kuminta pertolongan. Ya Allah, beri aku kekuatan. Hanya Engkaulah yang bisa menolongku.
Dengan langkah yang teramat perlahan, dan nafas yang hampir putus, akhirnya sampai juga kami di depan istana. Istana megah nan tinggi menjulang -yang menjadi tujuan kami sedari tadi- begitu menakjubkan bagiku. Speechless, rasanya hampir tak percaya bisa sampai di sini. Selama ini hanya melihat di foto-foto para sahabat muslimah. Kini giliran kami yang berkesempatan menjejakkan kaki ke sini. Menyaksikan jejak kebesaran Osaka ratusan tahun silam, melalui benteng kokoh nan perkasa ini. Berbagai perasaan berkecamuk jadi satu. Senang, terharu, bangga. Setelah menempuh perjalanan berkilo-kilo meter, dengan keadaan yang tidak bisa dikatakan prima, sampai jugalah kami ke sini. Dan ini semua tidak akan terjadi tanpa izin Allah SWT. Kuucapkan syukur dari lubuk hatiku yang paling dalam.
Dan sekarang, apakah aku sudah puas hanya dengan menatap istana nan indah di hadapanku. Apakah tidak ada keinginan untuk melongok ke dalam barang sejenak. Untuk melihat barang-barang apa saja yang dipamerkan di dalam. Juga melihat-lihat foto para shogun di jaman samurai. Pasti barang-barangnya indah dan unik. Foto para shogun itu pun pastinya sangat gagah dengan pakaian kebesaran mereka, desis batinku. Tapi sepertinya akan ada perlawanan (lagi). Mengingat istana ini terdiri dari tujuh lantai!
Benar saja.
“Nah, udah liat kan istananya, sekarang kita pulang yuk!”. Kawan, tentu tahu kan, siapa yang berkemungkinan berbicara seperti ini? Ya betul. Tak lain dan tak bukan adalah my hubby, suamiku tercinta. Beliau tidak rela membayangkan istri tercintanya ini tertatih-tatih mendaki anak tangga.
Kutatap istana di depanku dengan penuh kebimbangan. Aku sangat mencintai suamiku, dan tidak ingin membantah perintahnya. Tapi di lain pihak, hatiku terus meronta-ronta. Dari Kawasaki ke Osaka, kami sudah menempuh perjalanan yang teramat jauh. Belum lagi dari stasiun menuju kemari. Lagu Meggy Z terngiang kembali. Haruskah kami mengurungkan niat untuk masuk ke dalam? Kembali pulang ke Kawasaki, tanpa sempat menjenguk ke dalam istana yang menjadi impianku sedari tadi.
Kutatap lagi istana megah berlantai tujuh di hadapanku. Bentuknya tinggi menjulang, bagaikan gunung tinggi yang menunggu untuk ‘ditaklukkan’. Permasalahannya adalah “tersedia liftkah di dalam sana?” Mengingat Istana Osaka ini termasuk bangunan lama. Jaman dulu kan enggak ada lift. Tapi ini kan tahun 2001, jaman modern lagee. Ada liftlah pastinya. Pasti? Belum tentu, Kawan.
Kami mencoba mencari pencerahan melalui Syarifuddin dan Azhari.
“Biasanya sih kalo di Jepang ada lift,” kilah Syarifuddin. ‘Biasanya?’ Loh kok jawabannya ragu-ragu begitu sih? Yaelah, ternyata mereka yang penduduk Osaka pun belum pernah masuk ke dalam Istana Osaka ini. Yah, bagaimana ini? Katanya mau jadi guide, kok informasinya enggak jelas begini. Dan nanti kalau ternyata di dalam enggak ada lift, Syarifuddin pasti akan berkilah,
“Saya bilang kan ‘biasanya’, ternyata ini yang enggak biasa.” Nah lo.
My hubby masih mencoba membujuk.
“Ayuk Mama, kita pulang!” Melihat wajahnya yang polos, diiringi tatapan yang penuh pengharapan, ada bilur-bilur keharuan menyeruak dalam dada. Tapi pulang? Ah, rasanya kata itu betul-betul tidak klop diucapkan di sini.
“Pulang? Tanggung, Ayah. Masak enggak masuk sih?” Bagiku, kata ‘pulang’ tidak bisa kucerna sama sekali. Aku tetap “kekeuh”, firasatku mengatakan bahwa di dalam ada lift. Karena Jepang yang kukenal selama ini adalah selalu mengagungkan kepuasan konsumen, termasuk turis. Bukankah Istana Osaka merupakan merek dagang pariwisata yang sangat diandalkan oleh pemerintah Jepang? Tentu mereka berusaha melengkapi fasilitas wisata agar turis bisa nyaman. Dan orang-orang Jepang yang kukenal selama ini teramat manusiawi. Mereka selalu memikirkan orang-orang tua, orang cacat, anak-anak kecil dan tak lupa, wanita hamil sepertiku. Apakah ada larangan yang menyatakan bahwa orang hamil tidak boleh jalan-jalan? Tentu tidak bukan? Tapi jika memikirkan teori di atas, semestinya dari stasiun ke Istana Osaka disediakan angkot, becak atau apalah, sehingga orang hamil dan yang tadi kusebutkan di atas enggak perlu bersusah-payah yah, hihi.
“Ayah, biasanya kalau di Jepang kan ada lift,” dengan memelas aku mengajukan permohonan. Seraya diiringi berjuta pengharapan. Kutatap Syarifuddin, Azhari dan Yuli secara bergantian. Mengharapkan dukungan dan persetujuan mereka. Mereka tampaknya mengerti.
“Iya, biasanya kalo di Jepang kan ada lift,” seru Syarifuddin. Aku menunggu persetujuan dari suamiku. Detik demi detik berlalu dengan amat lambat. Aku sibuk berdoa dalam hati, semoga Allah melembutkan hati suami tercintaku ini.
Akhirnya,
“Okelah, kita masuk ke dalam,” ucapan my hubby bagaikan secercah embun di Gurun Sahara.
“Alhamdulillah,” desisku lega. Perasaan bahagia yang menyelimutiku juga diselingi harap-harap cemas, adakah lift di dalam sini. Dengan ragu-ragu kulangkahkan kaki ke dalam. Dan terpampanglah pengumuman itu. Lift ada, tapi cuma sampai ke lantai lima. Alhamdulillah wa syukurillah, ada lift, jadi gak usah susah-susah naik tangga. Kuhela nafas penuh kelegaan. Tapi sayangnya cuma sampai lantai lima, nanti naik ke lantai enam dan tujuh bagaimana? Ya sudah, enggak usah dipikir sekaranglah. Yang penting sampai lantai lima sudah aman. Untuk selanjutnya dipikir nanti sajalah.
Lantai 1F dilengkapi dengan gerai souvenir, boks telepon umum dan sebuah lukisan besar Toyotomi Hideyoshi, pendiri Istana Osaka. Petugas penunggu lift menyambut kami dengan ucapan selamat datang dan mempersilakan kami menikmati semua yang tersaji dalam istana.
Maka mulailah aku mengamati barang-barang yang ada di dalam kastil merangkap museum itu. Di lantai 2F, 3F dan 4F, terdapat berbagai artefak peninggalan kastil yang disimpan di etalase. Menurut Kepala Istana Osaka Museum Bapak Natsuo, ada setidaknya 10.000 benda bersejarah dari periode shogun sebagai koleksi utama yang tertata di tujuh lantai.
Koleksi yang bisa dinikmati, antara lain peralatan perang para samurai seperti baju zirah (yoroi), helm baja (kabuto), tombak (yari), pedang (katana), senapan kuno (teppo). Ada juga jubah kaisar dengan desain Gunung Fuji berwarna kuning, juga benda-benda seperti kipas, batu tempat menaruh tinta, pedang, dan surat yang ditulis sang shogun.
Dan seperti yang sudah kuduga, di dalam museum ini banyak informasi tentang sejarah keshogunan. Baik berupa foto, maupun diorama. Dan yang menjadi bintang utamanya adalah Toyotomi Hideyoshi. Segala seluk-beluk tentang beliau, mulai dari bayi sampai kakek-kakek dikupas habis. Ada 19 layar tiga dimensi yang dihidupkan dengan teknologi tinggi. Luar biasa! Hebatnya karena Jepang berhasil mengungkapkan fakta sejarah dengan cara yang menarik. Pengunjung seperti terlempar ke kehidupan Jepang 400 tahun yang lalu. Aku bisa melihat hebohnya suasana saat kelahiran Hideyoshi. Atau melihat kenakalan beliau semasa kecil saat dimarahi ibunya. Sungguh menarik. Tapi berhubung terbatasnya waktu, aku enggak bisa menyimak film itu satu per satu. Masalahnya masih ada beberapa lantai lagi yang menunggu giliran untuk kusambangi. Jadi aku melihat secara sepintas lalu saja, enggak bisa secara seksama dan mendetil. Ohya, di sini juga tersedia pakaian perang dan pedang tiruan bagi pengunjung yang ingin berpose ala samurai dengan biaya 300 Yen per orang.
Nah, yang menjadi pertanyaan sekarang, kenapa sih Toyotomi Hideyoshi ini mendapat porsi yang lebih besar dibandingkan shogun-shogun yang lain? Ya iyalah, beliau kan pendiri Istana Osaka ini. Jadi harus diberi penghormatan lebihlah ya. Apalagi beliau sudah berjasa sebagai Bapak Pemersatu Jepang.
Pada akhir abad ke-16, Jepang terkoyak-koyak akibat perang saudara. Para samurai dan penguasa-penguasa perang daerah bertempur satu sama lain untuk mendapatkan kekuasaan tertinggi di tangannya masing-masing. Konflik terjadi di mana-mana sehingga situasi Jepang sangat kacau. Nah, pada tahun 1590, Hideyoshilah yang berhasil mendamaikan dan mempersatukan negara. Sehingga beliau dianggap sebagai pahlawan dan namanya dicatat dengan tinta emas dalam sejarah Jepang.
Lelaki pemberani ini membangun istana pada tahun 1583 dan menggunakannya sebagai basis kampanye. Beliau membuat istana bergaya tradisional Jepang ini berselimut kemewahan. Genting-gentingnya yang berwarna hijau dilapisi ornamen hiasan warna emas di bagian menaranya. Bahkan di dalamnya juga terdapat ruangan jamuan teh yang serba emas. Bisa dikatakan, istana ini merupakan peneguh kekuasaan dan kekuatannya sebagai seorang pemimpin wilayah. Untuk ukuran masa itu, bangunan ini tak tertandingi, baik di Jepang sendiri, China maupun Korea.
Hideyoshi mereklamasi dua kilometer wilayah laut di bagian barat istana dan membangun kotanya sendiri di sana. Reklamasi artinya penimbunan lautan, dijadikan daratan. Barang-barang dari seluruh Jepang Barat kemudian masuk ke Osaka karena letaknya yang berdekatan dengan laut. Lelaki tangguh ini kemudian membangun Osaka dengan dua fungsi yaitu sebagai pusat perdagangan dan pusat pemerintahan
Setelah Hideyoshi wafat beliau digantikan oleh Toyotomi Hideyori yang baru berusia tujuh tahun. Tahun 1615, Tokugawa Ieyasu menggulingkan Hideyori dan menguasai Istana Osaka dalam Perang Musim Panas Osaka. Beliau lalu merekonstruksi istana, selesai tahun 1629. Sayangnya tahun 1665, menara utama disambar petir dan terbakar.
Hampir seluruh bangunan istana musnah menjadi abu seusai Pertempuran Boshin. Hingga akhirnya, tahun 1931, Istana Osaka dibangun kembali seperti yang tampak sekarang. Situasi pada Perang Musim Panas Osaka dapat kita saksikan pada lantai 5F. Perang ini termasuk perang saudara. Paling menarik adalah diorama dalam ukuran mini pada etalase kaca besar yang menyuguhkan ‘jajar perang’. Kita bisa mengamati baju-baju perang yang digunakan, samurai dan lain sebagainya. Faisal menyimak dengan takjub. Sementara aku menyimak dengan wajah ngeri. Terus terang, aku benci peperangan. Namun ini adalah fakta sejarah yang tidak bisa dibantah. Dan justru pada masa perang saudara tahun 1573-1603 inilah banyak istana yang dibangun. Situasi peperanganlah yang melahirkan ide membangun istana dengan benteng-benteng batu yang kokoh. Seperti Istana Osaka yang tersusun dari batu-batu besar, pintu besi dan dikelilingi oleh tembok tinggi sepanjang dua kilometer.
Sampai di sini aku ingin melanjutkan ke lantai 6F. Tapi seperti sudah kuduga, my hubby mengajakku turun. Namun dengan tegas aku menolak. Tanggung, kataku. Di sinilah keliatan watakku yang sebenarnya, keras kepala. Kalau ada maunya harus kesampaian. Padahal betis sudah terasa kaku kebanyakan jalan. Yang jadi pemikiranku begini, kalau aku enggak ngeliat lantai enam dan lantai tujuh, takutnya sampai Kawasaki nanti menyesal, eh lantai enam itu isinya apa ya? Lha, kan enggak mungkin balik lagi. Jadi mumpung masih di sini, apa salahnya dibela-belain dikit. Toh naik tangganya kan juga pelan-pelan, alon-alon asal kelakon.
Dari 6F langsung melanjutkan ke 7F. Sampai di lantai tujuh ini (puncak) kita bisa melihat sebagian kota Osaka dari atas. Bisa melihat bangunan-bangunan di sekeliling istana, parit-paritnya. Wah, jadi serasa ngeliat musuh dari menara pengintai. Asyik ya. Tuh, enggak nyesel kan bisa naik sampai ke sini. Kalau enggak sampai ke puncak kan enggak seru.