Awan putih bergumpal-gumpal indah, melayang-layang di angkasa. Burung-burung camar terbang rendah. Kapal-kapal berlayar bagaikan mengapung. Dari jendela pesawat, kutatap semua itu dengan pandangan seolah tak ingin berkedip. Negeri Jiran. Puluhan tahun berlalu sejak terakhir kali aku menyambanginya. Dan kini kesempatan itu datang kembali. Bersama suamiku, Bang Umar, dan teman-teman suami, Pak Jamal dan Pak Taufik.
Pesawat Air Asia terus merangkak naik, melintasi lautan, sungai dan lembah, menuju Malaysia. Pramugari mengumumkan bahwa akan ada penjualan makanan dan minuman. Aku melirik ke arah pramugari yang membawa gerobak makanan, lalu menelan ludah. Teringat perbincanganku dengan Pak Jamal di bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang beberapa saat yang lalu.
![](https://klikjaring.com/wp-content/uploads/2022/11/CIMG2259-1-1024x768.jpg)
“Pak, di dalam dikasih makanan nggak?” tanyaku dengan nada khawatir.
“Makanan ada, tapi harus beli. Dan harganya juga mahal-mahal,” jawab Pak Jamal. Hm, berarti nanti harus tahan lapar dong. Penerbangan ini memang murah, tapi mereka mengambil untung dari penjualan makanan dan souvenir. Aku berbisik pada suamiku.
“Ayah, apa kita makan dulu. Di luar kan ada restoran tuh.”
“Nggak sempat, Mama. Ini sebentar lagi mau boarding,” balas suamiku. Sebaris kekhawatiran segera menyergapku. Nanti kalau kelaparan di pesawat gimana coba.
“Lho, tadi Mama bukannya udah makan di rumah?” goda suamiku.
“Iya, tapi tadi kan masih pagi, sebentar lagi juga udah lapar,” aku nyengir kuda. Aku memang termasuk orang yang cepat kenyang, tapi cepat lapar lagi.
“Ya udah, nanti kita cari makan sesampainya di KL, jam satu siang kan kita udah nyampe, insya Allah,” ujar suamiku, menentramkan batin yang mulai bergejolak.
***
Kepala terasa berat dan kantuk mulai mendera. Kucoba pejamkan mata namun tak berhasil. Euforia yang menyelimutiku membuat semangatku menyala. Euforia karena ingin melanglang buana ke negeri orang. Walah, melanglang buana, keren sekali. Pikiranku terlalu semangat bekerja sehingga tak bisa tidur. Kulempar pandangan ke luar jendela. Awan-awan putih melayang-layang bercengkerama, seolah menyapaku. Kuambil majalah travelling di depanku. Kubolak-balik lembar demi lembar. Berbagai artikel pariwisata dari berbagai negara Asia membuat pupil mataku melebar. Vietnam, India, Indonesia, Malaysia, Thailand, dan hey…Spanyol. Lho, Spanyol kan terletak di benua Eropa bukan Asia? Kenapa ada di buku travelling ini? Bukannya majalah ini khusus mempromosikan Asia? Tapi ah sudahlah, pikiranku terlalu penat untuk memikirkan itu semua. Lalu aku melihat jembatan gantung yang menghubungkan dua pulau. Di bawahnya tertulis: Langkawi. Melihat gambar itu sebersit kengerian menyelinap dalam hati. Hm, bawahnya kan jurang, ngeri nggak sih. Tapi pemandangannya keren juga. Kapan ya aku bisa plesir ke Langkawi. Beberapa tempat wisata di Malaysia segera berkelebat. Genting Highland, Menara Petronas, Jurong Park, Orchid Park, Malaka, hm tempat-tempat itu seolah memanggil-manggilku…
Kubolak-balik majalah itu lagi. Terlihat gambar perumahan Suku Badui dengan lingkungannya yang asri. Sungguh eksotis, dan juga unik. Buncah rasa bangga berkobar dalam dada. Indonesia ikut dipromosikan di majalah travelling ini lho. Yah, sebetulnya Indonesia menyimpan potensi wisata yang keren, tapi terkadang luput dari perhatian. Promosinya juga kurang gencar. Kucium balsem yang kubawa dari Banda Aceh. Aromanya memenuhi rongga hidung dan membuatku nyaman. Kubuka sabuk pengaman dan kurebahkan sandaran kursi dengan hati-hati. Terbayang gadis Spanyol dengan tarian “Flamenco” di majalah tadi. Khayalanku kembali berkelana. Kapan ya bisa keliling dunia, melihat-lihat kebudayaan, sejarah dan peradaban negara-negara lain. Itu adalah impianku waktu kecil, naik pesawat setiap hari supaya bisa keliling dunia. Kalau ditanya orang apa cita-citaku, tanpa ragu akan kujawab, “Pramugari”.
Kupandangi pramugari yang lewat membawa gerobak berisi makanan dan minuman. Cantik, putih, dan fasih berbahasa Inggris. Rambutnya dicat pirang. Sepintas lalu mirip bule. Hm, senangnya jadi pramugari, bisa keliling dunia. Seandainya…Huss, kutebas pikiran itu jauh-jauh. Takdir kita sudah ditentukan Allah Azza Wajalla.
“Nggak boleh bilang ‘seandainya’. Itu bisikan setan, tau! Kamu sudah ditakdirkan sebagai ibu rumahtangga, bukan pramugari. Untuk apa menyesali takdir. Dosa! Allah lebih mengerti yang terbaik buat kamu.” Kudengar suara batinku mengomel panjang.
“Para penumpang yang kami hormati. Sebentar lagi kita akan mendarat di Kuala Lumpur. Sila pasangkan tali keledar, menegakkan kursi dan menutup meja.” Suara merdu pramugari berwajah oriental memecah lamunanku. Aku tersenyum mendengar kata “tali keledar”. Maksudnya adalah tali keselamatan alias sabuk pengaman. Bertambah lagi nih kosa kata Bahasa Melayuku. Sebentar saja sudah sampai. Kulirik arlojiku, baru 45 menit berlalu. Jadi jarak Banda Aceh-Kuala Lumpur hanya satu jam? Dekatnya. Lebih dekat dari Banda Aceh-Jakarta yang memakan waktu tiga jam.
Aku menegakkan sandara kursi, dan memasang sabuk pengaman. Kulayangkan pandanganku ke luar jendela. Sungai yang berkelok-kelok. Perumahan yang berjajar rapi. Hamparan pohon kelapa sawit membentang nun jauh di bawah sana.
“Alhamdulillah, akhirnya sampai juga aku di Malaysia,” kuucap syukur berkali-kali. Setelah memendam keinginan ini selama puluhan tahun, akhirnya kesempatan itu menghampiriku jua. Terimakasih ya Rabb, karena telah mendengar rintihan permohonan dari seorang hamba yang miskin papa ini.
“Ini Bandara Kuala Lumpur, Ayah?” “Bukan, ini bukan KLIA, Kuala Lumpur International Airport, tapi LCCT, Low Cost Carrier Terminal. Tempat ini disewa sama Air Asia,” jelas suamiku. Setelah mendarat dan keluar dari pesawat, aku terpesona melihat pesawat-pesawat Air Asia yang sedang parkir. Langsung teringat anak-anakku di rumah. Mereka pasti suka kalau melihat pesawat-pesawat ini. Terlintas keinginan untuk memotret. Tapi tiba-tiba terlihat pengumuman di dinding. Dilarang makan, dilarang minum, dan dilarang memotret. Halah, kenapa memotret pun dilarang?
Tiba-tiba terdengar suara derap langkah kaki. Suaranya bergemuruh. Kumenoleh, tampak orang-orang berlarian seperti terburu-buru. Tampaknya penumpang dari penerbangan lain.
“Hhh, kenapa harus buru-buru sih, santai dikit kenapa?” dengusku kesal.
“Mungkin mereka transit, jadi harus mengejar pesawat lagi,” tutur Pak Taufik.
“Ooh, pantesan.” Selanjutnya kami melangkah ke Imigresen, Tuntutan Bagasi, dan Balai Ketibaan. Di Imigresen, ternyata ngantrinya panjang, mutar-mutar kayak ular. Jadi teringat ngantri di bank saat tanggal muda, dulu. Lumayan lama juga ngantri di Imigresen itu, sekitar setengah jam lebih. Untungnya ketemu beberapa orang teman, ngobrol-ngobrol, jadinya agak membunuh waktu sedikit. Bengong lagi. Hm, kira-kira nanti ditanya apa ya. Apa tujuan Anda pergi ke Malaysia. Hm, apa ya, ikut suami dinas. Ah, lucu banget, terlalu jujur. Jalan-jalan aja deh. Atau “pusing-pusing” aja ya. Eh kok jadi ribet gini sih. Mendekati giliran, jantungku berdegup kencang.
“Ayah, kok orang itu pake sidik jari segala sih?” tanyaku pada suami. Aku melihat seorang pemuda yang sedang diminta sidik jarinya. Jangan-jangan buronan.
“Yah, untuk jaga-jaga aja,” jawab suamiku.
“Memang dia dicurigai?” lanjutku. Aku memperhatikan pemuda itu dari atas ke bawah. Hm, dia memakai sandal. Apa gara-gara itu ya dia jadi dicurigai.
“Bukan. Takutnya jadi “pendatang haram”. Mereka kan nggak mau ada pendatang yang terlunta-lunta dan jadi beban di negaranya. Biasanya akan ditanya tiket pulang.”
“Ooh,” aku mengangguk. Nggak perlu kuatir. Aku ‘kan sudah mengantongi tiket pulang, jadi nggak perlu dicurigai jadi ”pendatang haram”. Lega deh sekarang. Dua orang lagi di depanku sebelum tiba pada giliranku. Pemuda berwajah Chinese di depanku tampak sedang melemas-lemaskan tangan dan kaki. Lho, lagi olahraga ya? Kuperhatikan baik-baik. Ooh, tampaknya dia sedang nervous, jadi berusaha menenangkan diri. Hihihi. Sekarang udah bisa ngetawain orang ya, tadi dirimu bukannya nervous juga? Halah.
Dan kini giliranku. Aku maju dengan langkah tegap. Wajah harus meyakinkan, supaya jangan mencurigakan.
“Dari Banda Aceh ya Bu?” tanya petugas imigrasi.
“Iya, Pak,” jawabku dengan mantap. Untung pertanyaannya mudah.
“Pulangnya kapan, Bu?”
“Hari Minggu Pak.”
“Ok.” Sejenak menunggu,
“Ok Bu, sudah siap.” Alhamdulillah. Lancar. Rasanya seperti lolos dari ujung jarum. Lepas dari Imigresen, kami mencari-cari conveyor tempat koper-koper penumpang dikeluarkan, tapi kok nggak ada ya? Setelah celingak-celinguk,, rupanya koper-koper itu sudah keluar dari tadi. Yah, maklumlah, kan ngantri di Imigresen-nya lama banget. Jadi koper-koper itu ditumpuk di salah satu ujung conveyor.
“Kalau di Banda Aceh, kita nunggu koper. Kalau di sini, koper yang nunggu kita,” guyon suamiku. Bener juga.
“Ayah, mau ke toilet,” bisikku. Suamiku mencari-cari petunjuk.
“Mama, itu di sana toiletnya. Oya, kalau di sini, toilet namanya jadi “tandas”,” jelas suamiku. Aku mengikuti arah yang ditunjuk suamiku. Alamak jauhnya.
“Nggak jadilah, nanti aja,” sahutku.
“Nggak terlalu kepingin sih, masih bisa ditahan kok.”
“Lho, Pak Jamal mana?”
“Lagi beli kartu telefon,” yang menjawab Pak Taufik.
“Lebih murah pake nomor Malaysia, biar nggak kena roaming,” imbuh suamiku.
“Pak Umar mau beli juga?” tanya Pak Taufik.
“Nggak, saya nanti aja,” jawab suamiku. Akhirnya kami keluar dari bandara yang besar dan megah. Di luar, Pak Mirza, dosen Fakultas Tehnik Unsyiah yang tengah melanjutkan studi di Malaysia segera menyambut kami. Rupanya beliau sudah lama menunggu. Bapak-bapak segera menyalami Pak Mirza.
“Nyoe keluarga lon (ini keluarga saya),” suamiku memperkenalkan aku pada Pak Mirza.
“Mama, ini Pak Mirza,” gantian Pak Mirza yang diperkenalkan padaku. Kubungkukkan badanku, dan beliau membalasnya. Di Aceh, bapak-bapak dengan ibu-ibu jarang bersalaman, kecuali kalau saudara atau sudah akrab banget.
“Silakan,” Pak Mirza mempersilakan kami masuk ke mobilnya.
“Mama duduk di depan aja,” bisik suamiku. Karena satu-satunya wanita dalam rombongan ini, aku mendapat kehormatan duduk di depan. Sementara bapak-bapak berdesak-desakan duduk di bangku tengah. Sedangkan bangku belakang penuh dengan koper.
“Ya ampun, kasian bener nih bapak-bapak,” aku memandang mereka dengan tatapan iba.
“Pak Jamal duduk depan aja,” tawarku, mengingat badannya yang besar. Sementara badanku kan kecil mungil.
“Nggak papa Bu, Ibu aja,” tolak Pak Jamal dengan halus. Ya sutra, ditawarin kok nggak mau, batinku. Mobil melaju melewati rerimbunan pohon kelapa sawit. Hm, ini kayaknya kok di luar kota ya. Bangi, tujuan kami memang terletak di luar Kuala Lumpur. Tepatnya, di Selangor Darul Ehsan. Makanya suasananya alami begini.
Hujan lebat meyambut kedatangan kami.
“Di Banda Aceh sudah beberapa hari mendung. Ternyata jatuhnya di sini,” gumam suamiku.
“Tapi waktu kami ke Lhokseumawe tiga hari yang lalu, hujan juga di sana,” ujar Pak Jamal.
“Berarti di Banda Aceh yang belum hujan-hujan,” timpal Pak Taufik.
“Pak, boleh berhenti di ATM tak? Saya nak tarik uang ni,” Pak Jamal senyum-senyum, angkat bicara dengan logat Melayu. Heee? Cepatnya beliau beradaptasi.
“Boleeh,” jawab Pak Mirza sambil mengangguk-angguk.
“Di sini “boleh” berbeda dengan “bisa”. Kalau “bisa” itu maksudnya “bisa ular”,” jelas Pak Mirza.
“Wah, nggak boleh salah-salah ngomong ya Pak,” balasku.
“Iya Bu, nanti jadi salah pengertian.” Seraya menyetir, Pak Mirza mencari-cari ATM.
“Ah, itu ada! Kita berhenti kat sana ya!” seru Pak Mirza. Haa? ‘Kat’ maksudnya ‘dekat’ bukan ya? ‘Dekat sana’, mungkin maksudnya ‘di sana’. Aku mencoba menganalisis sendiri. Selagi menunggu. Kupandangi rinai hujan di balik jendela. Langit kelabu, deretan toko bertuliskan nama-nama Chinese, disertai huruf kanji. Melihat huruf kanji, jadi ingat Jepang. Tapi, kanji China lebih ribet. Aku membaca sebuah plang. Bandar Baru, Salak Tinggi, Banting, Nilai. Hah, apaan tuh? Kupandangi lebih jeli lagi. Nilai 500 meter. Ooh, ternyata “Nilai” itu nama tempat.
“Pak, “Salak” itu nama tempat ya?” Pak Mirza tersenyum. “Bu, di sini, pohon salak tinggi-tinggi, dibanting dulu, baru bernilai.” Aku ikut tersenyum. Teringat kalau ditanya orang,
“Mau kemana?” Lalu aku akan menjawab,”Mau ke Banting.” Hihihi.
“Oh ya, ngomong-ngomong, udah pada makan belum nih?” tanya Pak Mirza. Diam menyelimuti kami.
“Belum Pak.” Akhirnya aku yang menjawab. Kenapa jadi aku yang semangat yah.
“Yuk, kita cari rumah makan ya.” Pak Mirza membawa kami ke sebuah rumah makan Melayu Oriental. Aku membaca menu. Banyak sekali pilihannya, jadi bingung. Takutnya udah pesan, malah nggak enak, jadi mubazir kan. Oh kalau begitu pesan yang standar aja deh, nasi goreng. Aku meneliti menu lagi. Tapi, ternyata banyak sekali jenis nasi gorengnya, ada nasi goreng ayam, nasi goreng kampung, belacan, Pattaya, daging kuning, daging merah. Walah. Akhirnya aku memesan nasi goreng ayam dan Milo suam alias Milo hangat.
“Mama, jauh-jauh ke Malaysia kok pesannya Milo, sih?” protes suamiku.
“Abis yang lain dingin semua, Mama kan nggak suka minuman dingin,” jawabku tak mau kalah. Sementara suamiku memesan bihun goreng dan horlick. “Horlick itu minuman apa, Ayah?” bisikku pada suami.
“Minuman dari gandum,” jawab beliau.
“Ooh, seperti cereal ya?” tanyaku lagi. Suamiku mengangguk. Bapak-bapak yang lain juga memesan nasi goreng ayam sepertiku. Lho, kok ikut-ikutan sih? Nggak kepengen nyoba “Nasi goreng Pattaya” ke? Tapi untuk minuman sepertinya beda selera. Ada yang pesan jus epal, jus mangga, jus pokat. Tau kan jus epal, itu lho, jus apel. Setelah memesan makanan, aku segera mencari toilet alias tandas. Numpang tanya sama mas-mas pelayan restoran.
“Bang, tandas di sebelah mana?” Duh, manggilnya pake “Bang” apa “Pakcik” ya.
“Di belakang Bu, tapi lewat sana,” pelayan restoran menunjuk ke arah depan. Ooh, tandasnya ada di luar, pikirku. Seraya berjalan kulihat petugas cleaning service sedang mengepel lantai dengan gagang pel. Iseng, kutanya mas-mas itu,
“Bang, tandasnya di mana?”
“Di situ, Bu,” ujarnya sopan. Lho, kok, logatnya medok Jawa ya.
“Bang, dari Jawa ya,” kuberanikan diri untuk bertanya.
“Iya, Bu.”
“Udah berapa lama?”
“Baru enam bulan, Bu.”
“Oooh. Permisi ya.”
“Silakan, Bu.” Senang juga, ketemu orang senegara di negeri orang. Selepas dari tandas yang bersih dan baru, aku melewati mas-mas itu lagi.
“Permisi ya Mas,” aku mengubah panggilan dari “Bang” ke “Mas”.
“Silakan Bu.” Setelah aku sampai di tempat duduk, mas-mas tadi masih mencuri-curi pandang ke arahku. Jangan GR dulu deh. Tampaknya dia juga girang, bertemu dengan orang senegara yang menyapanya dengan sopan. Hm, pesanannya lama juga diantar ya. Untuk mengisi waktu para bapak mengobrol, seputar kampus UKM, Universiti Kebangsaan Malaysia. Aku jadi pendengar setia, maklum, satu-satunya orang non kampus.
“Pak, di sini suasanya enak ya, dingin, banyak pohon,” aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Jangan kampus melulu.
“Ini karena habis hujan, Bu, biasanya sih panas,” jawab Pak Mirza.
“Ooh, kirain sehari-harinya dingin begini.”
“Tapi di sini enak, masih banyak burung, monyet,” sambung Pak Mirza.
“Di Banda Aceh udah jarang kita dengar suara burung,” ujar Pak Taufik. “Iya, kalo di sini banyak, burung gagak juga ada,” lanjut Pak Mirza.
“Kalau di BandaAceh burung gagak ditembakin, soalnya dianggap hama,” sela Pak Jamal. Terbersit kecemburuan dalam hati. Tak hanya dalam pembangunan ekonomi, dalam lingkungan pun kita tertinggal dari Malaysia. Lingkungan di sini masih dijaga, dirawat dengan baik. Hewan-hewannya pun dibiarkan bebas berkeliaran. Tidak diburu dan dikejar-kejar.
“Di Sungai Tangkas, tempat kami, kalau pagi suara burung bersahut-sahutan, bagus sekali suaranya. Monyet juga ada, bahkan sekeluarga,” imbuh Pak Mirza. Segera saja bayangan monyet-monyet di Lintas Seulawah berkelebat dalam benakku. Jadi kangen. Tak lama, Milo suam pesananku datang. Alhamdulillah, sudah kehausan sejak dari bandara soalnya. Lalu menyusul Horlick pesanan suamiku Aku melirik Horlick suamiku, keliatannya enak. Tapi aku sudah kenyang dengan Milo suam-ku. Nantilah kapan-kapan mencoba. Kan masih ada beberapa hari di sini. Salah seorang mas-mas pelayan restoran mendekati meja kami.
“Bapak-bapak, maaf ya, blendernya lagi rusak, jadi tak boleh buat jus. Sila ambil minuman di refrigator tu,” pelayan itu menunjuk ke arah kulkas di pojok ruangan. Maksudnya nggak bisa bikin jus karena blender rusak. Ealah. Tanpa banyak cakap, para bapak segera menghambur ke arah kulkas. Wah sepertinya sudah kehausan juga nih, sama dong. Setelah itu nasi goreng ayam datang. Karena “Ladies first”, jadi aku dapat jatah pertama.
“Duluan ya Pak,” aku berasa nggak enak hati, makan duluan. Tapi perutku udah keruyukan dari tadi.
“Iya, silakan Bu,” balas Pak Mirza. Beberapa menit kemudian, datang lagi sepiring nasi goreng ayam. Tapi hanya sepiring. Sepiring lagi menyusul kemudian.
“Datangnya kok sepiring-sepiring ya? Masaknya nggak sekalian di kuali besar ya?” tanyaku.
“Ini kan restorannya masih baru, jadi masih pada kikuk,” jawab Pak Mirza. Pak Jamal dapat giliran terakhir. Aku yakin, cacing-cacing di perutnya pasti udah berontak semua.
“Dek, kualinya cuma satu ya!” dengan nada marah Pak Jamal bertanya pada mbak-mbak yang mengantar nasi goreng. Mbak-mbak itu hanya tersenyum getir dan berlalu begitu saja. Ealah. Aku sudah selesai makan sedangkan para bapak masih ber-jibaku menghabiskan hidangan masing-masing. Seorang wanita separuh baya datang dengan mobil. Aku tidak begitu memperhatikan. Tapi wanita itu berjalan ke arah dapur dan marah-marah. Lho-lho, kenapa pula ini. Rupanya dia memarahi para karyawan karena tidak becus bekerja.
“Keliatannya dia yang punya restoran ini ya?” aku mencoba mengambil kesimpulan.
“Iya, ngeliat dari gayanya sih begitu,” jawab Pak Taufik. Lalu aku melihat mbak-mbak yang tadi “disemprot” oleh Pak Jamal. Setelah itu “disemprot” pula oleh sang majikan. Rasa iba tiba-tiba berkelebat dalam sanubariku. Jauh-jauh ke negeri orang buat cari rezeki, sampe sini dihina. Ooh. Nasib, nasib.
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Apa yang Kau Cari?”,
Klik untuk baca: